Selasa, 03 April 2018

ANGKATAN17: #part2 Sang Tersangka




Kelas yang tadinya riuh oleh beberapa obrolan singkat sampai pekikan senang siswa yang ternyata satu kelas lagi di kelas XI IPA 2 ini seketika menjadi senyap saat seorang perempuan masuk. Semua atensi langsung mengarah pada perempuan itu, Jeny.

“Permisi,” ucap Jeny mendekati meja paling depan setelah memutar pandangannya ke seluruh kelas dan tidak menemukan siswa yang dicari. “Saya cari Bobby, ada?”

“Eh, emang si ABC dapet kelas ini?” Una, perempuan yang duduk di sana berteriak ke belakang.

“Yeee lu ‘kan mantan temen sebangkunya waktu kelas sepuluh, Na. Masa nggak tau. Nih tasnya. Duduk di depan gue dia.”

Setelah berdecak sebal satu kali, Una menatap ke depan lagi dengan takut-takut. Sejak masalah MPLS tahun lalu, semua anak jadi agak segan bila berhadapan dengan perempuan ini—lebih banyak takutnya sebenarnya. “Iya katanya. Ka-kamu kelas ini juga?”

Pertanyaan itu mewakili semua siswa yang ada di sana. Jika Jeny ternyata anak kelas ini juga, sudah bisa dipastikan bahwa setiap presentasi akan menjadi waktu-waktu paling menyeramkan.

Arzenyara nama lengkapnya. Selain siswi paling cerdas di SMA Budi Luhur, Jeny juga merupakan perempuan yang jago berdebat dan pemberani. Nah bisa dibayangkan bagaimana jadinya bila melakukan presentasi mengenai materi pelajaran di depan perempuan cerdas, berani dan jago berdebat pula? Habis. Ditebas sampai ke akar.

Jeny menggeleng, “Bukan.”

Dan paduan helaan napas terdengar di dalam kelas itu. Huuuh...

“Kira-kira ada yang tau Bobby kemana?”

“Ke kelas IPA 3 kali! Si Hobi di sana soalnya. Eh, apa di kelasnya Juki sama Jae, ya, Na?”

Una mengedikkan bahunya satu kali, “Bobby mah makhluk setengah Sun Go Kong. Bisa neclok sana-sini.”

“Pencari kitab suci, dong!”

“Bukan kitab suci. Darah suci dia mah.”

Anak-anak tertawa. Melihat keadaan kelas mulai rusuh lagi membuat Jeny pamit pada Una setelah mengucapkan “terima kasih”.

Ia keluar kelas. Otaknya berputar, berpikir kira-kira dimana anak itu berada.


***


“Jammy!”

Ara menemukan seorang laki-laki dengan pakaian rapi; hanya kurang dasi yang memang tidak diwajibkan untuk dipakai, berdiri di depan mading utama sekolah. Ara berlari menghampiri Jammy sambil mengangkat rok abu-abu panjang yang baru pertama kali ia kenakan. Peraturan baru kurikulum tiga belas memang agak—tidak, itu sangat amat ribet bagi Ara yang terbiasa memakai rok span sedengkul.

Tinjuan ringan dilayangkan pada bahu Jammy, “Tumben lu belum stay di kelas?”

“Jangan lari-lari, Ra! Hadoh nanti kalau lu jatoh terus turun peranakan gimana coba? Nasib masa depan gue terancam!” Julian bergabung dengan celotehannya yang ngaco.

“Gue bahkan nggak tau dimana kelas gue, Ra,” desah Jammy terdengar agak putus asa.

“Lah, emang daftar ulangnya diwakilin sama Oma lagi?” Ara akhirnya ikut meneliti selembar kertas yang tertempel di balik kaca mading. Mencari nama Jammy Ardiansyah di sana.

“Palingan kertasnya ilang lagi terus lupa dapet kelas berapa. Iya ‘kan, Mbah?” Julian meledek. Membuat wajah Jammy semakin tertekuk. Namun setelah itu mereka bertiga sibuk mencari nama Jammy di rentetan kelas.

“Heh!” Ara menepak bagian belakang leher Julian, membuat anak itu memekik tidak terima karena beberapa adik kelas ia tangkap masih memerhatikannya. “Apaan, sih!? Bisa jatoh harga diri gue, jir!”

“Lagian lu ngapain nyari nama “anak dengan nilai UN IPA SMP tertinggi se-Jabodetabek tahun dua ribu enam belas dan bercita-cita jadi dokter sejati” di deretan kelas IPS? Sampe kelulusan juga nggak akan nemu, Marjuki Pantat Panciii!”

Julian hanya ber-hehe-hehe menampilkan gigi kelincinya.

“Chimmy!” Seorang perempuan berambut panjang bergelombang datang menghampiri mereka dan menepuk pundak Jammy. Nama “Thalita A. Syarif” terpatri di kemeja sebelah kanannya.

“Thalit!” Sapa Ara ramah. Thalita langsung menghampiri Ara dan memeluknya. “Araaa. Gimana kabar lo? Masih waras ‘kan? Gue khawatir soalnya lo masih aja sih temenan sama makhluk astral macem dia noh.” Thalita menunjuk Julian dengan bibirnya.

“Masih pagi. Nggak usah ngajak ribut, Nenek lampir!”

Thalita mengabaikan Julian, “Udah bel ‘kan? Kok masih pada di sini?”

“Emh, aku nyari kelas dulu,” ujar Jammy sambil menggaruk tengkuknya, lalu tersenyum canggung, “Lupa.”

Membuat Thalita tersenyum lebar, lalu merogoh tasnya dan menyodorkan secarik kertas pada Jammy. “Tadi aku nyamper ke rumah kamu buat ngasih ini, eh kamunya udah berangkat duluan. Kamu pasti lupa kalau waktu itu aku yang bawa kertas daftar ulangnya, iya ‘kaaan? Kamu kelas IPA 1.”

Jammy menghembuskan napas lega sambil menatap Thalita, “Makasih, ya.”

“Sama-sama.” Thalita balik menatap Jammy dengan senyum super manis.

“YAAMPUN. MUAL PAGI-PAGI. APAKAH INI YANG NAMANYA HAMIL MUDA?” Julian memotong aksi tatap-tatapan ala Jammy dan Thalita. Kemudian disusul oleh Ara yang tertawa pelan. Mereka beriringan berjalan menuju kompleks kelas sebelas dengan membicarakan beberapa topik random.

Ketika hampir berpisah di tikungan untuk menuju kompleks kelas masing-masing, mereka dibuat terkejut oleh seorang laki-laki yang berlari ke arah mereka lalu bersembunyi di balik tubuh Julian.

“Paan, sih!?”

“Umpetin gue, Jul! Kantongin gue kalau bisa!” Bobby, laki-laki bermata sipit itu sudah banjir keringat meskipun hari masih pagi. Membungkuk sambil memegangi tas ransel Julian, berusaha menyembunyikan tubuhnya di balik tubuh Julian yang cukup besar.

“Musuh mana lagi sekarang, ha? Hidup kok seneng banget cari musuh.” Thalita menepuk bahu Bobby kemudian menatap Jammy, “Udah, Yang, kamu duluan aja. Katanya dipanggil Bu Mita tadi? Jangan banyak bergaul sama makhluk-makhluk nggak jelas kayak mereka. Nanti kamu ketularan. Hiiiy, amit-amit.”

Jammy tertawa. “Yaudah. Istirahat ketemu di kantin!” ucapnya sebelum pergi, yang dibalas oleh anggukan mereka kecuali Bobby yang masih menatap kanan-kiri dengan dipenuhi kepanikan.

“Lu kayak dikejar-kejar setan dah, Bob. Dikejar siapa, sih?! Anak kelas dua belas?” Julian berusaha melepaskan diri dari Bobby, tapi rupanya cengkeraman anak itu cukup kencang.

“Lu nggak liat tuh anak-anak kelas sepuluh lagi pada ngapain?”

Julian, Thalita dan Ara menengokkan kepalanya ke sekitar. “Main hape?”

“Nonton!”

“Ya terus apa yang aneh? Manusia abad dua satu ya begini,” ucap Ara nampak biasa saja dengan pemandangan yang memang sudah kerap ia temui dimana-mana.

“Tau. Elo hidup di jaman apa sih, Bob? Jaman jahiliya, ha?” Thalita kembali menyembur.

“Ish!” Bobby akhirnya menegakkan tubuh, “Kalian belom cek hape apa gimana, sih?! Kudet banget elah.”

Ara mengernyit dan langsung mengambil ponselnya. Begitu juga Thalita dan Julian. Beberapa notifikasi muncul di ponsel masing-masing.

“Emang ada yang aneh, ya? Di hape gue Cuma ada chat dari dedek-dedek gemay.”

“Dasar lelaki kerdus,” umpat Thalita tidak tahan. Membuat Julian mendelik sinis beberapa saat.

“Buset! Kok bisa kesebar lagi, sih?”

Pekikan Ara menarik perhatian Thalita dan Julian. Mereka langsung mendekat ke arah sisi Ara dan ikut menonton video apa yang ada di sana.

“Anjir ini elu lagi yang nyebar, Bob?!” Julian melirik Bobby yang sudah kembali panik.

“Bukan! Sumpah demi Mimi Peri yang makin famous, bukan gue!”

“Tapi ini video yang dulu, kan?”

“Iya emang, Tha. Itu video yang dulu, yang gue rekam, tapi kali ini bukan gue yang nyebar.” Bobby kembali menyembunyikan tubuhnya di balik Julian, “Selamatkan gue Juuuul, Tha, Raaa. Haduh nggak mau lagi gue kayak tahun lalu.”

Julian, Ara dan Thalita saling tatap sebelum kemudian sama-sama meneguk mengingat kejadian tahun lalu.

Tahun lalu, Bobby adalah tersangka utama yang merekam dan menyebarkan video kerusuhan MPLS Angkatan 17 dimana ada adegan Jeny yang menonjok kakak kelas setelah ia terlebih dahulu ditampar. Video itu langsung viral di kalangan anak SMA Budi Luhur. Termasuk ke tangan Jeny.

“Gue bakal ngehapus semua video itu dari semua situs yang ada. Semuanya sampe bersih. Tapi plis, Jen, jangan laporin gue. Jangan sampe gue kena sidang. Gue nggak mau orang tua gue tahu anaknya sebobrok ini.”

Bobby dan Jeny berdiri di belakang kompleks kelas sepuluh, tanpa tahu bahwa banyak anak yang mengintip.

“Gue kena SP 1 dan lo minta keringanan?”

Bobby menghembuskan napas, “Jangan seolah-olah gue yang punya kesalahan besar di sini, Jen. Semuanya ‘kan memang bersumber dari lo.”

Dan tepat setelah mengucapkan kalimat itu, satu tamparan melayang dan mendarat di pipi Bobby. Sangat keras, menimbulkan suara PLAK sampai membuat anak-anak yang sedang mengintip berjengit ngeri.

“Lain kali, belajar caranya berpikir tentang dampak kehidupan orang-orang yang ada di video tersebut, jangan Cuma bisa ngerekam dan nyebarin supaya viral doang. Karena bisa jadi, mereka yang nonton tanpa tahu kejadian aslinya kayak gimana, tiba-tiba berubah jadi monster sok tahu yang ngehakimi orang lain seenaknya.”

Bobby memegangi pipi kanannya yang mulai memanas. Sementara Jeny menatap Bobby dengan pandangan tajam dan napas yang memburu, “Gue anggap kita impas.”

“Pantes tadi itu macan betina jalannya buru-buru banget. Sori, Bob. Perempuan mana aja bisa gue taklukin, tapi untuk yang satu ini di luar kendali gue. Ngedipinnya aja gue nggak berani, jir. Dicolok mata gue bisa-bisa pake pulpen.” Julian hendak pergi tapi tangan Bobby masih menahan ranselnya kuat-kuat.

Ara yang hendak lari ditahan oleh Julian, “Lepas, nggak?!” Ara memukul lengan Julian meskipun tidak berefek. “Cari Aming sono mending, Bob! Cuma dia yang mentalnya kuat buat ngehadapin itu cewek!”

“Gue nggak mau terlibat. Sorry!”

Thalita berbalik hendak pergi menuju kelasnya di kompleks IPS, tapi kemudian gerakannya seketika terhenti saat ia melihat seorang perempuan tengah berjalan mendekat dari ujung lorong. Tiba-tiba ia membeku. Ara, Julian serta Bobby yang sedang tarik menarik juga ikut menatap ke arah pandangan Thalita. Seketika mereka ikut membeku.


“Anjir. Kenapa orangnya malah muncul!”


***



0 komentar:

Posting Komentar