Kelas yang tadinya riuh oleh beberapa
obrolan singkat sampai pekikan senang siswa yang ternyata satu kelas lagi di
kelas XI IPA 2 ini seketika menjadi senyap saat seorang perempuan masuk. Semua
atensi langsung mengarah pada perempuan itu, Jeny.
“Permisi,” ucap Jeny mendekati meja
paling depan setelah memutar pandangannya ke seluruh kelas dan tidak menemukan
siswa yang dicari. “Saya cari Bobby, ada?”
“Eh, emang si ABC dapet kelas ini?” Una,
perempuan yang duduk di sana berteriak ke belakang.
“Yeee lu ‘kan mantan temen
sebangkunya waktu kelas sepuluh, Na. Masa nggak tau. Nih tasnya. Duduk di depan
gue dia.”
Setelah berdecak sebal satu kali, Una
menatap ke depan lagi dengan takut-takut. Sejak masalah MPLS tahun lalu, semua
anak jadi agak segan bila berhadapan dengan perempuan ini—lebih banyak takutnya
sebenarnya. “Iya katanya. Ka-kamu kelas ini juga?”
Pertanyaan itu mewakili semua siswa
yang ada di sana. Jika Jeny ternyata anak kelas ini juga, sudah bisa dipastikan
bahwa setiap presentasi akan menjadi waktu-waktu paling menyeramkan.
Arzenyara nama lengkapnya. Selain
siswi paling cerdas di SMA Budi Luhur, Jeny juga merupakan perempuan yang jago
berdebat dan pemberani. Nah bisa dibayangkan bagaimana jadinya bila melakukan
presentasi mengenai materi pelajaran di depan perempuan cerdas, berani dan jago
berdebat pula? Habis. Ditebas sampai ke akar.
Jeny menggeleng, “Bukan.”
Dan paduan helaan napas terdengar di
dalam kelas itu. Huuuh...
“Kira-kira ada yang tau Bobby
kemana?”
“Ke kelas IPA 3 kali! Si Hobi di sana
soalnya. Eh, apa di kelasnya Juki sama Jae, ya, Na?”
Una mengedikkan bahunya satu kali,
“Bobby mah makhluk setengah Sun Go Kong. Bisa neclok sana-sini.”
“Pencari kitab suci, dong!”
“Bukan kitab suci. Darah suci dia
mah.”
Anak-anak tertawa. Melihat keadaan
kelas mulai rusuh lagi membuat Jeny pamit pada Una setelah mengucapkan “terima
kasih”.
Ia keluar kelas. Otaknya berputar,
berpikir kira-kira dimana anak itu berada.
***
“Jammy!”
Ara menemukan seorang laki-laki
dengan pakaian rapi; hanya kurang dasi yang memang tidak diwajibkan untuk
dipakai, berdiri di depan mading utama sekolah. Ara berlari menghampiri Jammy
sambil mengangkat rok abu-abu panjang yang baru pertama kali ia kenakan.
Peraturan baru kurikulum tiga belas memang agak—tidak, itu sangat amat ribet
bagi Ara yang terbiasa memakai rok span sedengkul.
Tinjuan ringan dilayangkan pada bahu
Jammy, “Tumben lu belum stay di kelas?”
“Jangan lari-lari, Ra! Hadoh nanti
kalau lu jatoh terus turun peranakan gimana coba? Nasib masa depan gue
terancam!” Julian bergabung dengan celotehannya yang ngaco.
“Gue bahkan nggak tau dimana kelas
gue, Ra,” desah Jammy terdengar agak putus asa.
“Lah, emang daftar ulangnya diwakilin
sama Oma lagi?” Ara akhirnya ikut meneliti selembar kertas yang tertempel di
balik kaca mading. Mencari nama Jammy Ardiansyah di sana.
“Palingan kertasnya ilang lagi terus
lupa dapet kelas berapa. Iya ‘kan, Mbah?” Julian meledek. Membuat wajah Jammy
semakin tertekuk. Namun setelah itu mereka bertiga sibuk mencari nama Jammy di
rentetan kelas.
“Heh!” Ara menepak bagian belakang
leher Julian, membuat anak itu memekik tidak terima karena beberapa adik kelas
ia tangkap masih memerhatikannya. “Apaan, sih!? Bisa jatoh harga diri gue,
jir!”
“Lagian lu ngapain nyari nama “anak
dengan nilai UN IPA SMP tertinggi se-Jabodetabek tahun dua ribu enam belas dan
bercita-cita jadi dokter sejati” di deretan kelas IPS? Sampe kelulusan juga
nggak akan nemu, Marjuki Pantat Panciii!”
Julian hanya ber-hehe-hehe
menampilkan gigi kelincinya.
“Chimmy!” Seorang perempuan berambut
panjang bergelombang datang menghampiri mereka dan menepuk pundak Jammy. Nama
“Thalita A. Syarif” terpatri di kemeja sebelah kanannya.
“Thalit!” Sapa Ara ramah. Thalita
langsung menghampiri Ara dan memeluknya. “Araaa. Gimana kabar lo? Masih waras
‘kan? Gue khawatir soalnya lo masih aja sih temenan sama makhluk astral macem
dia noh.” Thalita menunjuk Julian dengan bibirnya.
“Masih pagi. Nggak usah ngajak ribut,
Nenek lampir!”
Thalita mengabaikan Julian, “Udah bel
‘kan? Kok masih pada di sini?”
“Emh, aku nyari kelas dulu,” ujar
Jammy sambil menggaruk tengkuknya, lalu tersenyum canggung, “Lupa.”
Membuat Thalita tersenyum lebar, lalu
merogoh tasnya dan menyodorkan secarik kertas pada Jammy. “Tadi aku nyamper ke
rumah kamu buat ngasih ini, eh kamunya udah berangkat duluan. Kamu pasti lupa
kalau waktu itu aku yang bawa kertas daftar ulangnya, iya ‘kaaan? Kamu kelas
IPA 1.”
Jammy menghembuskan napas lega sambil
menatap Thalita, “Makasih, ya.”
“Sama-sama.” Thalita balik menatap
Jammy dengan senyum super manis.
“YAAMPUN. MUAL PAGI-PAGI. APAKAH INI
YANG NAMANYA HAMIL MUDA?” Julian memotong aksi tatap-tatapan ala Jammy dan
Thalita. Kemudian disusul oleh Ara yang tertawa pelan. Mereka beriringan
berjalan menuju kompleks kelas sebelas dengan membicarakan beberapa topik
random.
Ketika hampir berpisah di tikungan
untuk menuju kompleks kelas masing-masing, mereka dibuat terkejut oleh seorang
laki-laki yang berlari ke arah mereka lalu bersembunyi di balik tubuh Julian.
“Paan, sih!?”
“Umpetin gue, Jul! Kantongin gue
kalau bisa!” Bobby, laki-laki bermata sipit itu sudah banjir keringat meskipun
hari masih pagi. Membungkuk sambil memegangi tas ransel Julian, berusaha
menyembunyikan tubuhnya di balik tubuh Julian yang cukup besar.
“Musuh mana lagi sekarang, ha? Hidup
kok seneng banget cari musuh.” Thalita menepuk bahu Bobby kemudian menatap
Jammy, “Udah, Yang, kamu duluan aja. Katanya dipanggil Bu Mita tadi? Jangan
banyak bergaul sama makhluk-makhluk nggak jelas kayak mereka. Nanti kamu
ketularan. Hiiiy, amit-amit.”
Jammy tertawa. “Yaudah. Istirahat
ketemu di kantin!” ucapnya sebelum pergi, yang dibalas oleh anggukan mereka
kecuali Bobby yang masih menatap kanan-kiri dengan dipenuhi kepanikan.
“Lu kayak dikejar-kejar setan dah,
Bob. Dikejar siapa, sih?! Anak kelas dua belas?” Julian berusaha melepaskan
diri dari Bobby, tapi rupanya cengkeraman anak itu cukup kencang.
“Lu nggak liat tuh anak-anak kelas
sepuluh lagi pada ngapain?”
Julian, Thalita dan Ara menengokkan
kepalanya ke sekitar. “Main hape?”
“Nonton!”
“Ya terus apa yang aneh? Manusia abad
dua satu ya begini,” ucap Ara nampak biasa saja dengan pemandangan yang memang
sudah kerap ia temui dimana-mana.
“Tau. Elo hidup di jaman apa sih,
Bob? Jaman jahiliya, ha?” Thalita kembali menyembur.
“Ish!” Bobby akhirnya menegakkan
tubuh, “Kalian belom cek hape apa gimana, sih?! Kudet banget elah.”
Ara mengernyit dan langsung mengambil
ponselnya. Begitu juga Thalita dan Julian. Beberapa notifikasi muncul di ponsel
masing-masing.
“Emang ada yang aneh, ya? Di hape gue
Cuma ada chat dari dedek-dedek gemay.”
“Dasar lelaki kerdus,” umpat Thalita
tidak tahan. Membuat Julian mendelik sinis beberapa saat.
“Buset! Kok bisa kesebar lagi, sih?”
Pekikan Ara menarik perhatian Thalita
dan Julian. Mereka langsung mendekat ke arah sisi Ara dan ikut menonton video
apa yang ada di sana.
“Anjir ini elu lagi yang nyebar,
Bob?!” Julian melirik Bobby yang sudah kembali panik.
“Bukan! Sumpah demi Mimi Peri yang
makin famous, bukan gue!”
“Tapi ini video yang dulu, kan?”
“Iya emang, Tha. Itu video yang dulu,
yang gue rekam, tapi kali ini bukan gue yang nyebar.” Bobby kembali
menyembunyikan tubuhnya di balik Julian, “Selamatkan gue Juuuul, Tha, Raaa.
Haduh nggak mau lagi gue kayak tahun lalu.”
Julian, Ara dan Thalita saling tatap
sebelum kemudian sama-sama meneguk mengingat kejadian tahun lalu.
Tahun lalu, Bobby adalah tersangka
utama yang merekam dan menyebarkan video kerusuhan MPLS Angkatan 17 dimana ada
adegan Jeny yang menonjok kakak kelas setelah ia terlebih dahulu ditampar.
Video itu langsung viral di kalangan anak SMA Budi Luhur. Termasuk ke tangan
Jeny.
“Gue bakal ngehapus semua video itu
dari semua situs yang ada. Semuanya sampe bersih. Tapi plis, Jen, jangan
laporin gue. Jangan sampe gue kena sidang. Gue nggak mau orang tua gue tahu
anaknya sebobrok ini.”
Bobby
dan Jeny berdiri di belakang kompleks kelas
sepuluh, tanpa tahu bahwa banyak anak yang mengintip.
“Gue
kena SP 1 dan lo minta keringanan?”
Bobby
menghembuskan napas, “Jangan seolah-olah gue yang punya kesalahan besar di
sini, Jen. Semuanya ‘kan memang bersumber dari lo.”
Dan
tepat setelah mengucapkan kalimat itu, satu tamparan melayang dan mendarat di
pipi Bobby. Sangat keras, menimbulkan suara PLAK sampai membuat anak-anak yang
sedang mengintip berjengit ngeri.
“Lain
kali, belajar caranya berpikir tentang dampak kehidupan orang-orang yang ada di
video tersebut, jangan Cuma bisa ngerekam dan nyebarin supaya viral doang.
Karena bisa jadi, mereka yang nonton tanpa tahu kejadian aslinya kayak gimana,
tiba-tiba berubah jadi monster sok tahu yang ngehakimi orang lain seenaknya.”
Bobby
memegangi pipi kanannya yang mulai memanas. Sementara Jeny menatap Bobby dengan
pandangan tajam dan napas yang memburu, “Gue anggap kita impas.”
“Pantes tadi itu macan betina
jalannya buru-buru banget. Sori, Bob. Perempuan mana aja bisa gue taklukin,
tapi untuk yang satu ini di luar kendali gue. Ngedipinnya aja gue nggak berani,
jir. Dicolok mata gue bisa-bisa pake pulpen.” Julian hendak pergi tapi tangan
Bobby masih menahan ranselnya kuat-kuat.
Ara yang hendak lari ditahan oleh
Julian, “Lepas, nggak?!” Ara memukul lengan Julian meskipun tidak berefek.
“Cari Aming sono mending, Bob! Cuma dia yang mentalnya kuat buat ngehadapin itu
cewek!”
“Gue nggak mau terlibat. Sorry!”
Thalita berbalik hendak pergi menuju
kelasnya di kompleks IPS, tapi kemudian gerakannya seketika terhenti saat ia
melihat seorang perempuan tengah berjalan mendekat dari ujung lorong. Tiba-tiba
ia membeku. Ara, Julian serta Bobby yang sedang tarik menarik juga ikut menatap
ke arah pandangan Thalita. Seketika mereka ikut membeku.
“Anjir. Kenapa orangnya malah
muncul!”
***
0 komentar:
Posting Komentar