Jung Ho Seok: Bukan
Phosphenous, Lalu Apa?
Phosphenous
adalah keadaan dimana mata bisa melihat cahaya ketika terpejam tanpa
benar-benar melihatnya. Lalu ... jika objek yang aku lihat ketika mataku
terpejam tanpa benar-benar melihatnya adalah kamu ... apakah itu disebut?
Aku tidak mengerti tentang apa rasa
ini disebut: kehilangan, barangkali? Tapi rasanya lebih dari itu. Jauh
melampaui makna kehilangan. Kosong bisa jadi. Yang jelas, rasanya seperti aku
bangun dari tidur siang di musim panas yang menyengat, dengan titik-titik
keringat di kening dan hawa gerah yang melingkupi, kemudian aku sadar bahwa
kacamataku tidak dapat kutemukan di sekitar; tidak nyaman; membuat segalanya
nampak buram dan tidak ada yang bisa aku lakukan setelahnya.
“Hei, bagaimana mungkin kamu baru
mengerjakan setengah lembar halaman laporan jurnalmu?”
Jin memrotes. Membuatku tersentak
bukan main. Akhir-akhir ini atensiku memang sering mendadak hanyut terbawa
pikiran yang melayang entah kemana.
“Kamu sudah duduk di sana selama dua
jam, Seul Hee.”
Aku hanya bisa tersenyum kikuk sambil
menggaruk ujung telinga dengan satu jari. “Aku tidak sengaja melamun. Tapi akan
kukerjakan lagi, kok,” ujarku sambil cepat-cepat menegakkan duduk dan
membetulkan letak kacamata kotak besar yang aku kenakan.
Seok Jin mendesah. “Kalau begitu, aku
mau beli kopi dulu. Cepat selesaikan laporanmu supaya kita bisa cepat pulang.”
Pemuda itu bangkit dari duduknya
kemudian melotot ke arahku, membuatku merapatkan kembali kedua bibir yang
hendak menolak tawarannya, “Jangan menolak! Aku tidak mau kamu tiba-tiba
berubah menjadi linglung lagi dan melupakan jalan pulang.”
Linglung. Ah, ya. Linglung mungkin adalah
kata yang paling menyentuh ketepatan atas apa yang saat ini melandaku.
Tapi, kenapa? Maksudku, oh, ya
mungkin aku memang kehilangan kamu, tapi aku sama sekali tidak menyangka bahwa
kehilangan satu diantara berpuluh orang di sekitarku bisa membuat dampak yang
sebesar ini. Tidak masuk di akal. Bagaimana mungkin kehilangan kamu yang bahkan
tidak membuatku menangis ketika pergi, justeru membuatku menjadi seonggok
perempuan hampir dewasa yang mungkin akan mengacaukan hidupnya sendiri?
Aku belum dewasa, tentu saja masih
dalam proses, tapi aku juga bukan seorang remaja pemberontak yang tidak
mengerjakan tugas laporannya, lupa makan, lupa tidur, lupa memberi makan Neko
makan, dan lupa-lupa lainnya. Namun kenapa aku justeru melakukan segala sesuatu
yang aku absen itu?
“Tuh ‘kan! Tuh ‘kan! Kamu melamun
lagi, hei, Seul Hee!”
Aku mengerjap dan menemukan Seokjin
dengan gelas kopi di kedua tangannya. Ia menaruh keduanya di mejaku, lalu
kemudian menarik kursi dan duduk menghadapku. Tangannya menarik kursi milikku
hingga menghadapnya juga. Ia menatapku sengit.
“Dengar, apa yang terjadi padamu?”
Aku
juga bingung. “Aku
... tidak mengerti, Jin. Entahlah.”
“Semua pasti ada sebabnya, Ahn Seul
Hee. Berpikirlah. Kamu anak Fakultas Kimia yang jelas memiliki otak beribu kali
lipat lebih cemerlang dibanding milikku. Sekarang, pikirkan ini baik-baik.”
“Tidak tahu. Aku sendiri tidak
mengerti kenapa akhir-akhir ini aku sering melamun.”
Aku meneguk satu kali. Tidak tahu.
“Apa yang kamu pikirkan saat kamu
melamun?”
“Pikiranku ... tidak ada. Aku hanya melamun. Lalu terkejut saat
seseorang menegurku. Begitu saja.”
Seok Jin mendesah lagi.
“Aku rasa bukan karena masalah itu. Kamu bahkan tidak menangis seperti
orang kebanyakan ketika dia meninggalkanmu.”
Ya,
kurasa juga begitu.
“Sekarang, apa yang kamu rasakan?”
Apa yang aku rasakan? “Em ... seperti
katamu tadi. Aku linglung? Ya, mungkin linglung. Seperti ada yang aku lupakan.
Entah apa itu, aku lupa—tentu saja lupa, kalau ingat aku tidak akan lupa.”
Aku sempat mendengar ia berujar
pelan, “Bicaramu bahkan ngaco. Mengerikan.”
“Seokjin, sudahlah ...,” Aku
menghembuskan napas. “Aku mungkin terlihat tidak baik-baik saja, tapi aku sungguh baik-baik saja. Hanya kadar
melamunku saja yang cukup meningkat akhir-akhir ini. Mungkin aku kelupaan
sesuatu dan aku pasti akan mengingatnya nanti.”
Karena hari sudah larut, akhirnya
Seokjin mengiyakan ajakanku untuk pulang. Tapi sebelum benar-benar berpisah di
persimpangan jalan, ia memberi sebuah petuah, “Dengar, ini mungkin terdengar
agak konyol. Tapi aku suka melakukannya ketika aku sedang kehilangan sesuatu
karena lupa meletakkannya. Matikan lampu kamar, kompres kepalamu dengan air
dingin, berbaringlah sambil memejamkan mata. Biasanya, aku akan mengingat apa
yang aku hilangkan beberapa saat kemudian.”
Dan di sinilah aku. Di atas
ranjangku, sambil mengikuti apa-apa yang diperintahkan Seokjin. Aku hanya
menghindari omelannya esok pagi jika tidak mencoba apa yang sudah ia usulkan.
Aku sudah melepas kacamataku,
memejamkan mata dan merasakan dinginnya sapu tangan yang menempel di keningku.
Rasanya cukup nyaman. Kemudian entah kenapa, tiba-tiba saja bayangan kamu yang
sedang tertawa muncul. Mungkin aku rindu. Lalu kemudian aku berusaha mengusir
kamu dari sana.
Menajamkan intuisi dan berusaha
mengingat apa yang aku lupakan. Buku? Lembaran kartu hasil ujian? Sepatu? Tas?
Dompet? Tidak. Lalu bayangan kamu
kembali muncul, kali ini tengah melakukan buing-buing aegyo yang membuatku
refleks tertawa. Eh? Sudah sana, Ho Seok.
Aku harus mengingat sesuatu dulu. Jadi aku mengusirmu lagi.
Kaos kaki? Ikat pinggang? Cardigan?
Kotak kacamata? Tidak. Bayangan kamu
yang sedang cemberut karena marah muncul, disertai aku yang mencolek-colek
sebelah bahumu, berusaha sekuat tenaga membujuk. Membuatku refleks memberengut.
Susah sekali membujuk kamu yang sedang
marah, tahu! Aku mengusirmu lagi.
Berulang kali mencoba mengingat,
berulang kali bayangan kamu disertai beberapa kejadian justeru bermunculan.
Kamu yang membuatkanku bekal, kamu yang menungguku mengerjakan laporan di perpus,
kamu yang selalu mengajakku makan chiros, kamu yang selalu bertingkah sok imut,
kamu yang tukang ngambek, kamu yang selalu mengataiku isteri kuda karena
kacamataku yang besar, kamu yang selalu menggenggam tanganku ketika sedang
berjalan, kamu yang memelukku saat aku menangis, kamu, kamu, kamu. Kenapa selalu kamu yang muncul, Ho Seokie?
“Biasanya,
aku akan melihat apa yang aku hilangkan ketika mataku terpejam beberapa saat
kemudian.”
Seketika aku membuka mata. Apa?
Aku mengerjap beberapa kali. Meneguk
lalu memejamkan mata lagi. Hanya untuk memastikan bahwa apa yang aku lihat
bukanlah ... kamu.
Tapi itu kamu. Di sana. Di antara ruang
gelap ketika aku terpejam. Kamu muncul di sana, Ho Seok. Tapi kenapa? Aku tidak pernah melupakan kamu barang sedetik pun
semenjak kamu pergi. Sejak membuka mata di pagi hari, aku bahkan ingat bahwa
hari ini adalah tepat peringatan dua bulan kepergian kamu untuk selamanya. Aku tidak pernah melupakanmu, Ho Seok...
Lalu kemudian aku membuka mata. Tapi
tiba-tiba dadaku sesak dan aku menangis untuk pertama kalinya sejak kamu pergi.
Aku tahu sekarang apa yang aku
lupakan—atau mungkin hampir. Aku memang tidak pernah melupakan kamu, tapi
rupanya aku lupa seberapa besar aku membutuhkan kamu.
Ya
Tuhan ... maafkan aku, Ho Seok.
[]
Happy birthday uri sunshine /lovelove/
0 komentar:
Posting Komentar