Hampir di semua sekolah mungkin akan
ada satu atau dua kelas yang menonjol. Entah karena kecerdasannya,
kerusuhannya, atau mungkin karena kelas tersebut berisi banyak sekali aktivis
organisasi yang sering membuat kelas hampir kosong karena dispen secara masal.
Namun ada yang berbeda di SMA Budi Luhur. Karena bukan hanya satu kelas yang
menjadi buah bibir di sana, melainkan satu angkatan.
Angkatan ke-17.
Beberapa guru mengatakan bahwa
angkatan ini adalah angkatan yang paling menonjol selama SMA Budi Luhur
berdiri. Sementara ketika mereka masih berada di bangku kelas X, mereka dikenal
sebagai angkatan berspesies super di kalangan kakak kelas sampai alumni yang
baru lulus.
Angkatan Spesies-Spesies Super,
katanya.
Bagaimana tidak? Dari yang super cerdas,
super bobrok, super cantik, super alim, super buaya, super ambis, super galak,
sampai yang super puitis seantero SMA Budi Luhur berada di Angkatan 17.
Namun rupanya, ketika di kelas X,
spesies-spesies itu masih tertidur. Tahun
ini mereka sudah menjadi anak kelas XI, dan tidak ada yang menyangka bahwa
selama satu tahun ke depan, banyak hal yang akan membuat SMA Budi Luhur jauh
lebih gempar.
Dan semuanya bersumber dari Angkatan
17.
***
Juli,
2017
Satu tahun sudah berlalu sejak MPLS
Angkatan ke-17 yang penuh dengan masalah. MPLS Angkatan ke-18 sudah
dilaksanakan beberapa hari yang lalu dengan lancar. Tidak ada siswi nyentrik
yang datang ke sekolah, tidak ada juga aksi kekerasan yang membuat satu sekolah
gempar seperti tahun lalu. Semuanya berjalan lancar.
Angkatan 17 sudah bukan lagi angkatan
yang paling ‘bontot’, mereka memiliki adik kelas sekarang. Resmi menjadi anak
kelas XI.
“Cie yang udah jadi kakak kelas.”
Julian menyenggol siku Ara ketika perempuan itu turun dari jok belakang dan
menyodorkan helm.
“Lu juga, Pea.” Ara membalikkan
tubuh, kemudian disusul oleh Julian yang berjalan di sebelahnya. “Nggak kerasa
ya udah satu tahun aja sekolah di sini. Perasaan baru kemaren rame-rame MPLS.”
“Gue masih inget banget tuh kerusuhan
di Aula. Dramatis banget. Berasa nonton film action.”
Mereka sama-sama terkekeh.
“Angkatan delapan belas MPLSnya nggak
seru. Flat,” lanjut Julian.
“Bagus kali, Juk. Kalau kerusuhan pas
MPLS angkatan kita keulang lagi, anak OSIS bisa dicincang satu-satu sama Bu
Aya. Kata Thalita, mereka sampe di breefing puluhan kali supaya kejadian tahun
lalu nggak keulang.”
“Pantes tuh Nenek Lampir kerjaannya
marah-marah mulu kalau ikut kumpul. Otaknya geser kali ya keseringan didamprat
Bu Aya.”
“Untung pacarnya macem Jammy yang
super sabar. Coba kalau macem elu? Beuh, langsung cari mangsa baru.”
Julian mencabikkan bibir mendengar
ujaran Ara yang ujungnya tidak enak.
Ara menengok ke arah Julian, “Eiya,
lu dapet IPS berapa? Sekelas sama Jae ‘kan lu?”
Dengan tiba-tiba Julian mengambil
tangan kanan Ara dan menjabatnya, membuat langkah mereka terhenti. Ara menatap
anak itu dengan dahi yang mengerut.
“Selamat karena akhirnya kita nggak
satu kelas lagi, Ra. Gue XI IPS 2. Satu kelas dan satu meja sama Jaelani,” ujar
Julian dengan senyum lebar, menampilkan gigi kelincinya. “Sepet gue liat muka
lu terus.”
Ara tersenyum penuh paksaan, “Selamat
juga karena akhirnya gue nggak akan liat muka kerdus lu lagi.”
Kemudian menghempaskan tangan Julian
dan berjalan lebih dulu. Meninggalkan laki-laki itu yang meringis kesakitan
karena tangannya sempat Ara remas kuat-kuat tadi.
Sebelum berbelok ke arah koridor
kelas sepuluh, Julian sempat menghentikan langkahnya di depan kulkas kaca milik
Koperasi. Menatap pantulan dirinya di sana. Agak mengacak bagian atas rambutnya
sedikit, mengeluarkan kemeja sekolahnya, dan barulah kembali menyusul langkah
Ara.
“Ampun. Udah kelas sebelas juga
bukannya nyontohin yang bener, malah sengaja dandan acak kadul begitu. Biar
apa, sih, Juk? Keren nggak, begajulan iya.”
Tapi rupanya Julian tidak
memerhatikan Ara, anak itu sudah sibuk tebar pesona pada adik kelas perempuan
yang sedang ramai di depan kelas. Tidak ada sepatah kata pun yang Julian
keluarkan, tapi senyuman yang ia pasang sudah mampu membuat beberapa adik kelas
mengulum senyum dengan wajah memerah. Melihat hal itu Ara justeru rasanya ingin
muntah.
“Biasanya, anak kelas sepuluh masih
doyan sama yang badboy ala-ala Nathan. Gue ‘kan sebelas dua belas sama Jefry
Nichol,” bisik Julian di telinga Ara.
“Cih. Elu bahkan nggak ada seujung tayi
kukunya Jefry Nichol.”
“Awas ya lu kalau nanti jatuh cinta
sama yang bahkan nggak ada seujung tayi kukunya Jefry Nichol ini.”
“Jibang*.”
“Nggak usah jealous terus napa, Ra.
Ujungnya juga gue bakal nikahnya sama elu. Tenang aja, calon isteri gue Cuma
elu, kok. Yang lain Cuma kontrakan, sekadar tempat persinggahan.”
Ara mendelik pada Julian. Lihat!
Bisa-bisanya bibir Julian Kersniadi membisikkan kalimat semacam itu di saat ia
justeru masih memertahankan senyuman yang dilempar sana sini. Kali ini anak itu
bahkan menyuar rambut depannya hingga ke belakang dengan menggunakan jari-jari
tangan kanannya. Dan Ara benar-benar tidak tahan hingga memutuskan untuk
membuang wajahnya ke arah yang berlawanan.
Terlihat banyak siswa baru, adik
kelasnya, bergerumul di beberapa titik di luar kelas. Beberapa duduk di taman
jamur—bukan jamur yang sebenarnya, dipanggil begitu hanya karena empat tempat
duduk yang ada di sana berbentuk seperti jamur dengan kuncup di atasnya sebagai
peneduh, segerombolan laki-laki berkumpul di dekat lapangan basket, dan ada
banyak kubu-kubu kecil yang terbentuk di areal depan kelas.
Ada yang menarik rupanya pagi hari
itu hingga hampir semua siswa memusatkan pandangannya pada satu atau dua ponsel
di setiap kerumunan yang ada. Tapi yang tidak Ara perhatikan adalah
desisan-desisan yang bersumber dari mulut adik kelasnya.
“Wah, nggak nyangka sempet ada
kejadian kayak gini.”
“Gila! Strong banget itu cewek.”
“Sayang bukan angkatan kita. Hahaha.
Seru kayaknya kalau MPLS kemaren ada beginian.”
“Siapa itu yang rambutnya
kuning-kuning? Berani banget itu ke sekolah dandanan begitu.”
“Yeee, gede di Amrik ya wajar dateng
nggak pake seragam. Tapi rambutnya emang so cool banget, sih. Hahaha.”
“Eh, itu Kak Jeny bukan, sih?”
“Kak Jeny? Loh yang kemaren ikutan
lomba sains itu? Emang itu dia, ya?”
“Gue pikir kalem, pinter-pinter
classy gitu.”
“Ssst. Ada orangnya!”
“Eh!” Ara memekik kecil saat bahu
kanannya sedikit tersenggol oleh seorang perempuan yang berjalan cepat dari
arah belakang. Julian refleks merangkul bahu Ara yang sedikit oleng. Tadinya ia
hendak marah-marah pada si tersangka yang sudah membuat Ara hampir jatuh, tapi
mendadak semua makiannya tertelan begitu saja ketika melihat siapa yang
menubruk Ara.
“Maaf. Saya buru-buru,” ujar perempuan
berkuncir kuda itu pada Ara. Setelah Ara membalas dengan anggukan kecil dan
kalimat ‘nggak apa-apa’, perempuan itu dengan cepat kembali berjalan.
“Duh Ya Allah pagi-pagi udah liat
macam betina aja. Sawan** gue,” ujar Julian sambil memegangi dadanya sendiri
dan memerhatikan punggung berbalut tas ransel perempuan yang berjalan dengan
cepat di depan sana.
Tanpa Julian maupun Ara tahu, fokus
perempuan itu tertuju pada satu laki-laki yang tahun lalu membuatnya menjadi
buah bibir satu sekolah karena masalah yang sama. Karena sebuah video kerusuhan
MPLS Angkatan 17 tersebar dimana-mana.
Dan hari ini, video itu tersebar
lagi.
Siapa yang menyebarkannya? Spekulasi
terbesar tertuju pada pelaku yang sama dengan yang menyebarkannya tahun lalu.
Si laki-laki bermata sipit.
***
*Jibang
= jijik banget
**Sawan
[Bhs Sunda] = Sangat kaget sampai mau pingsan
0 komentar:
Posting Komentar