Selasa, 20 Maret 2018

ANGKATAN 17 - #part1 Tahun Ajaran Baru Dengan Masalah Lama



Hampir di semua sekolah mungkin akan ada satu atau dua kelas yang menonjol. Entah karena kecerdasannya, kerusuhannya, atau mungkin karena kelas tersebut berisi banyak sekali aktivis organisasi yang sering membuat kelas hampir kosong karena dispen secara masal. Namun ada yang berbeda di SMA Budi Luhur. Karena bukan hanya satu kelas yang menjadi buah bibir di sana, melainkan satu angkatan.

            Angkatan ke-17.

Beberapa guru mengatakan bahwa angkatan ini adalah angkatan yang paling menonjol selama SMA Budi Luhur berdiri. Sementara ketika mereka masih berada di bangku kelas X, mereka dikenal sebagai angkatan berspesies super di kalangan kakak kelas sampai alumni yang baru lulus.

Angkatan Spesies-Spesies Super, katanya.

Bagaimana tidak? Dari yang super cerdas, super bobrok, super cantik, super alim, super buaya, super ambis, super galak, sampai yang super puitis seantero SMA Budi Luhur berada di Angkatan 17.

Namun rupanya, ketika di kelas X, spesies-spesies itu masih tertidur. Tahun ini mereka sudah menjadi anak kelas XI, dan tidak ada yang menyangka bahwa selama satu tahun ke depan, banyak hal yang akan membuat SMA Budi Luhur jauh lebih gempar.


          Dan semuanya bersumber dari Angkatan 17.


***
         
          Juli, 2017


Satu tahun sudah berlalu sejak MPLS Angkatan ke-17 yang penuh dengan masalah. MPLS Angkatan ke-18 sudah dilaksanakan beberapa hari yang lalu dengan lancar. Tidak ada siswi nyentrik yang datang ke sekolah, tidak ada juga aksi kekerasan yang membuat satu sekolah gempar seperti tahun lalu. Semuanya berjalan lancar.

Angkatan 17 sudah bukan lagi angkatan yang paling ‘bontot’, mereka memiliki adik kelas sekarang. Resmi menjadi anak kelas XI.

“Cie yang udah jadi kakak kelas.” Julian menyenggol siku Ara ketika perempuan itu turun dari jok belakang dan menyodorkan helm.

“Lu juga, Pea.” Ara membalikkan tubuh, kemudian disusul oleh Julian yang berjalan di sebelahnya. “Nggak kerasa ya udah satu tahun aja sekolah di sini. Perasaan baru kemaren rame-rame MPLS.”

“Gue masih inget banget tuh kerusuhan di Aula. Dramatis banget. Berasa nonton film action.”

Mereka sama-sama terkekeh.

“Angkatan delapan belas MPLSnya nggak seru. Flat,” lanjut Julian.

“Bagus kali, Juk. Kalau kerusuhan pas MPLS angkatan kita keulang lagi, anak OSIS bisa dicincang satu-satu sama Bu Aya. Kata Thalita, mereka sampe di breefing puluhan kali supaya kejadian tahun lalu nggak keulang.”

“Pantes tuh Nenek Lampir kerjaannya marah-marah mulu kalau ikut kumpul. Otaknya geser kali ya keseringan didamprat Bu Aya.”

“Untung pacarnya macem Jammy yang super sabar. Coba kalau macem elu? Beuh, langsung cari mangsa baru.”

Julian mencabikkan bibir mendengar ujaran Ara yang ujungnya tidak enak.

Ara menengok ke arah Julian, “Eiya, lu dapet IPS berapa? Sekelas sama Jae ‘kan lu?”

Dengan tiba-tiba Julian mengambil tangan kanan Ara dan menjabatnya, membuat langkah mereka terhenti. Ara menatap anak itu dengan dahi yang mengerut.

“Selamat karena akhirnya kita nggak satu kelas lagi, Ra. Gue XI IPS 2. Satu kelas dan satu meja sama Jaelani,” ujar Julian dengan senyum lebar, menampilkan gigi kelincinya. “Sepet gue liat muka lu terus.”

Ara tersenyum penuh paksaan, “Selamat juga karena akhirnya gue nggak akan liat muka kerdus lu lagi.”

Kemudian menghempaskan tangan Julian dan berjalan lebih dulu. Meninggalkan laki-laki itu yang meringis kesakitan karena tangannya sempat Ara remas kuat-kuat tadi.

Sebelum berbelok ke arah koridor kelas sepuluh, Julian sempat menghentikan langkahnya di depan kulkas kaca milik Koperasi. Menatap pantulan dirinya di sana. Agak mengacak bagian atas rambutnya sedikit, mengeluarkan kemeja sekolahnya, dan barulah kembali menyusul langkah Ara.

“Ampun. Udah kelas sebelas juga bukannya nyontohin yang bener, malah sengaja dandan acak kadul begitu. Biar apa, sih, Juk? Keren nggak, begajulan iya.”

Tapi rupanya Julian tidak memerhatikan Ara, anak itu sudah sibuk tebar pesona pada adik kelas perempuan yang sedang ramai di depan kelas. Tidak ada sepatah kata pun yang Julian keluarkan, tapi senyuman yang ia pasang sudah mampu membuat beberapa adik kelas mengulum senyum dengan wajah memerah. Melihat hal itu Ara justeru rasanya ingin muntah.

“Biasanya, anak kelas sepuluh masih doyan sama yang badboy ala-ala Nathan. Gue ‘kan sebelas dua belas sama Jefry Nichol,” bisik Julian di telinga Ara.

“Cih. Elu bahkan nggak ada seujung tayi kukunya Jefry Nichol.”

“Awas ya lu kalau nanti jatuh cinta sama yang bahkan nggak ada seujung tayi kukunya Jefry Nichol ini.”

“Jibang*.”

“Nggak usah jealous terus napa, Ra. Ujungnya juga gue bakal nikahnya sama elu. Tenang aja, calon isteri gue Cuma elu, kok. Yang lain Cuma kontrakan, sekadar tempat persinggahan.”

Ara mendelik pada Julian. Lihat! Bisa-bisanya bibir Julian Kersniadi membisikkan kalimat semacam itu di saat ia justeru masih memertahankan senyuman yang dilempar sana sini. Kali ini anak itu bahkan menyuar rambut depannya hingga ke belakang dengan menggunakan jari-jari tangan kanannya. Dan Ara benar-benar tidak tahan hingga memutuskan untuk membuang wajahnya ke arah yang berlawanan.

Terlihat banyak siswa baru, adik kelasnya, bergerumul di beberapa titik di luar kelas. Beberapa duduk di taman jamur—bukan jamur yang sebenarnya, dipanggil begitu hanya karena empat tempat duduk yang ada di sana berbentuk seperti jamur dengan kuncup di atasnya sebagai peneduh, segerombolan laki-laki berkumpul di dekat lapangan basket, dan ada banyak kubu-kubu kecil yang terbentuk di areal depan kelas.

Ada yang menarik rupanya pagi hari itu hingga hampir semua siswa memusatkan pandangannya pada satu atau dua ponsel di setiap kerumunan yang ada. Tapi yang tidak Ara perhatikan adalah desisan-desisan yang bersumber dari mulut adik kelasnya.


“Wah, nggak nyangka sempet ada kejadian kayak gini.”

“Gila! Strong banget itu cewek.”

“Sayang bukan angkatan kita. Hahaha. Seru kayaknya kalau MPLS kemaren ada beginian.”

“Siapa itu yang rambutnya kuning-kuning? Berani banget itu ke sekolah dandanan begitu.”

“Yeee, gede di Amrik ya wajar dateng nggak pake seragam. Tapi rambutnya emang so cool banget, sih. Hahaha.”

“Eh, itu Kak Jeny bukan, sih?”

“Kak Jeny? Loh yang kemaren ikutan lomba sains itu? Emang itu dia, ya?”

“Gue pikir kalem, pinter-pinter classy gitu.”

“Ssst. Ada orangnya!”


“Eh!” Ara memekik kecil saat bahu kanannya sedikit tersenggol oleh seorang perempuan yang berjalan cepat dari arah belakang. Julian refleks merangkul bahu Ara yang sedikit oleng. Tadinya ia hendak marah-marah pada si tersangka yang sudah membuat Ara hampir jatuh, tapi mendadak semua makiannya tertelan begitu saja ketika melihat siapa yang menubruk Ara.

“Maaf. Saya buru-buru,” ujar perempuan berkuncir kuda itu pada Ara. Setelah Ara membalas dengan anggukan kecil dan kalimat ‘nggak apa-apa’, perempuan itu dengan cepat kembali berjalan.

“Duh Ya Allah pagi-pagi udah liat macam betina aja. Sawan** gue,” ujar Julian sambil memegangi dadanya sendiri dan memerhatikan punggung berbalut tas ransel perempuan yang berjalan dengan cepat di depan sana.


Tanpa Julian maupun Ara tahu, fokus perempuan itu tertuju pada satu laki-laki yang tahun lalu membuatnya menjadi buah bibir satu sekolah karena masalah yang sama. Karena sebuah video kerusuhan MPLS Angkatan 17 tersebar dimana-mana.

Dan hari ini, video itu tersebar lagi.

Siapa yang menyebarkannya? Spekulasi terbesar tertuju pada pelaku yang sama dengan yang menyebarkannya tahun lalu.


Si laki-laki bermata sipit.

***



*Jibang = jijik banget
**Sawan [Bhs Sunda] = Sangat kaget sampai mau pingsan


0 komentar:

Posting Komentar