Lisa. Nama gadis jangkung tipis
dengan tampilan amat mencolok itu bernama Lisa.
“Nama saya Lisa. Saya baru pindah ke
Indonesia kemarin, baru mendaftar ke sekolah ini tadi dan langsung disuruh
untuk mengikuti kegiatan di sini. Untuk itulah penampilan saya cukup berbeda.
Sekolah lama saya tidak memiliki seragam dan rambut ... seperti yang saya
katakan tadi, saya belum memersiapkan apapun, termasuk rambut saya ini. Jadi,
mohon pengertiannya.”
Gelombang “WOAH” tiba-tiba menyeruak
ketika Lisa menyelesaikan kalimatnya.
“Diam!” Panitia kembali berteriak,
kali ini lebih tegas. “Dan kamu nekat datang meskipun dengan rambut seperti
itu?”
“Sebelum ke sini, saya sudah lebih
dulu menghadap beberapa guru bersama orang tua saya, menjelaskan situasinya,
dan sekolah memakmuli hal ini. Jadi, dimana letak ‘kenekatan’ saya?”
“Oke.” Panitia yang sedari tadi
memegang kendali tersenyum sinis, “Kalau begitu kamu juga sudah siap dengan
segala peraturan yang ada di sini. Bukan begitu?”
Anak-anak semakin dibuat takjub saat
Lisa justeru tersenyum tipis, “Of course.”
“Skot jump lima puluh kali! Perempuan
skot jump lima puluh kali! Untuk laki-laki push up lima puluh kali!”
Anak-anak berdecak. Bukan main
hukumannya.
Dan karena Lisa bukan perempuan yang
senang memiliki masalah dengan orang lain, jadi ia hanya mengikuti perintah. Hampir
seluruh murid baru yang ada di atas podium bersiap untuk melaksanakan
hukumannya. Tapi, ya, hampir. Karena ada satu perempuan yang masih berdiri
dengan tangan yang diacungkan. Hendak protes rupanya. Keadaan kembali riuh.
Bahkan Bian berteriak paling keras dan menjadi provokator untuk menambah
suasana semakin panas.
“Diam! Yang bicara saya tarik ke
atas!” Beberapa panitia berteriak, bahkan Bian sang provokator mendapat jeweran
di telinganya dari pembina regu jingga. “Bian jangan ribut! Nanti saya tarik ke
depan, ya, kamu.”
Membuat Bian mengaduh ampun.
Beruntung pembina regu mereka tergolong pembina yang pengertian, jadi tidak memperparah keadaan ketika Bian akhirnya
mendapatkan bekapan di mulut oleh Abi dan June.
“Kenapa kamu?” si panitia menghampiri
seorang perempuan berambut panjang yang dikuncir satu di ujung podium, berdiri
di dekat ketua pelaksana yang masih memantau kegiatan.
“Maaf sebelumnya.” Perempuan bername
tag kuning dengan nama Jeny tertulis di sana bicara ketika diberi mic. “Nama
saya Jeny. Dari regu kuning. Saya perlu tahu kenapa saya ditarik ke atas sini
dan harus mendapat hukuman.”
Sang panitia tersenyum miring, “Jadi
kamu tidak sadar apa kesalahan kamu?”
Jeny menggeleng, “Pakaian saya rapi,
saya mengenakan name tag yang sesuai, saya berambut hitam dan menguncirnya, jadi
kenapa saya juga harus menerima hukuman yang sama?”
Keadaan memanas. Kali ini bukan Bian
yang menjadi provokator, sementara anak itu masih dibekap oleh Abi dan June,
muncul teriakan provokatif lain dari berbagai sudut. Dua di antaranya adalah
suara Julian dan Aming yang ber’O’ ria dengan panjang dan kencang. Membuat Ara
dan Una, dua teman mereka, melotot dengan hasrat ingin melempar sepatu agar
bocah itu diam. Sementara Jae bergeming, dia hanya menatap lurus-lurus pada
perempuan berambut mencolok di sana.
Lisa yang sedang berjongkok dan
mendengar sindiran tersebut ternyata tidak terpancing. Anak itu justeru
terkekeh singkat kemudian menatap Jeny dengan pandangan tertarik.
“Kesalahan kamu itu ...,” si panitia
mengangkat tangan kanan Jeny dengan emosi. Rupanya bukan Lisa yang termakan
gelombang provokator siswa-siswa, tetapi si panitia. Sang ketua pelaksana yang
tadinya masih diam memerhatikan, kini bangkit dari duduknya. Mulai merasa bahwa
keadaan semakin memanas.
“Ini! Kami sudah dengan tegas
mengatakan bahwa tidak boleh ada yang memakai aksesoris, tapi kamu tetap
memakainya. Jadi berhenti protes dan sit up lima puluh kali!”
Semua mata tertuju pada gelang
cokelat yang melingkar di pergelangan tangan Jeny.
“Tapi saya sudah meminta izin untuk
tetap mengenakan ini langsung pada guru yang bertanggung jawab sejak hari
pertama.”
“Apa alasannya?”
“Itu alasan pribadi. Saya tidak bisa
menjelaskannya. Saya bahkan sudah mendapat surat keringanan.”
“Oh, ya? Mana suratnya? Kenapa kami
tidak menerima selembar surat pun?”
“Saya sudah menunjukkannya di hari
pertama. Tanya saja pada pembina regu saya.”
Saat beberapa panitia yang lain
bertanya pada pembina regu kuning, sang pembina mengangguk dan menjelaskan
situasinya. Tapi rupanya sudah tersulut emosi, si panitia yang sedari tadi
berselisih dengan Jeny kembali mendebat.
“Seharusnya kamu tetap membawanya
sampai kegiatan berakhir. Kamu tetap mendapat hukuman. Skot jump dua puluh lima
kali!”
Anak-anak kembali bersorak,
menghasilkan gelombang “WUUU” yang cukup besar. Sementara Jeny refleks berdecak
sebelum mengambil posisi jongkok bersama dengan yang lainnya. Rupanya,
decakannya terdengar oleh si panitia dan semakin memperburuk keadaan. Si
panitia kembali berbalik dan menarik bahu Jeny untuk bangun, “Kamu tadi protes,
ha?! Kamu tidak terima?”
Keadaan semakin kacau. Anak-anak
semakin gaduh dan bagaimana pun panitia yang tidak lebih dari tiga puluh kepala
itu kewalahan menenangkan mereka.
Jeny yang juga sudah emosi
mengepalkan lengannya dengan raut wajah yang keras. Ia hanya berusaha sekuat
mungkin untuk menahan agar tidak membuat semuanya semakin besar dan terjebak
dalam masalah yang sama sekali tidak ia inginkan. Jadi yang Jeny lakukan adalah
memejamkan mata dan menghembuskan napasnya keras lewat mulut.
PLAK!
Dan hampir semua orang yang melihat
kejadian itu memekik. Kegaduhan tiba-tiba lenyap, seketika. Mereka tidak
menyangka atas apa yang terjadi di atas sana. Jeny baru saja mendapat tamparan
di pipi kanannya dan ia sangat terkejut.
Sang ketua pelaksana segera bergerak
untuk menarik si panitia yang sudah menampar Jeny. Ini kesalahan, tentu saja.
Jadi sebagai ketua pelaksana, ia dengan segera berusaha untuk melerai semuanya.
Beberapa panitia bahkan langsung ikut naik ke podium dan menjauhkan si panitia
yang hampir berjalan mendekati Jeny lagi. “Dia ngeremehin gue!” teriaknya
berusaha menjangkau Jeny.
Jeny yang emosinya sudah mencapai
ubun-ubun langsung menerjang kerumunan panitia di atas podium dan kemudian
melayangkan satu tinju tepat ke hidung si panitia yang menamparnya.
Semua orang di sana membeku. Bahkan
panitia lain sempat diam beberapa detik memerhatikan teman mereka terjatuh ke
belakang. Ketika darah mengalir dari hidung panitia yang mengaduh di lantai
podium, barulah mereka bergerak membantu.
“Saya hanya membalas apa yang saya
dapat.” Jeny mengucapkan kalimat itu dengan intonasi yang ditekan. Kemudian ia
turun dari podium dan berjalan dengan cepat meninggalkan Aula tanpa dapat siapa
pun cegah.
Meninggalkan kegaduhan yang
menjadi-jadi di Aula. Hampir seluruh anak masih terkejut melihat apa yang baru
saja terjadi. Namun beberapa rupanya memiliki reaksi yang berbeda.
Lisa yang bangun dari jongkoknya dan
berdiri sambil tersenyum miring memerhatikan langkah Jeny sebelum anak itu
hilang di balik pintu Aula. Ia agak takjub melihat keberanian gadis itu. Lain
lagi dengan Jae yang menghembuskan napas setelah menahannya hampir sepanjang
kejadian itu terjadi, khawatir jika Lisa ikut terpancing, tapi untung saja
tidak. Dan di sisi lainnya Aming terpaku dengan mata yang terus mengekori kepergian
Jeny, untuk kemudian mencopot dasi biru yang terlilit di pergelangan tangan
kanannya lalu tersenyum.
Sementara beberapa meter dari sana,
ada Bian yang mengiringi kepergian Jeny dengan tepuk tangan dan tatapan takjub
sekaligus terkejut karena seketika mendapat kandidat lainnya untuk ia jadikan
partner in crime. Abi dan June bahkan tidak lagi menghentikan aksi Bian saking
terkejutnya.
Di sudut lain ada seorang laki-laki yang
menatap datar sambil berdecak kesal karena sepertinya rencana yang sudah ia susun
tidak akan mudah untuk dijalani setelah melihat beberapa anak angkatan tujuh
belas yang rupanya di luar ekspetasi.
Dan tepat di tengah barisan,
berhadapan dengan podium langsung, seorang siswa laki-laki tersenyum sambil
memasukkan ponselnya ke dalam saku. Diam-diam ia merasa puas dengan apa yang
sedari tadi ia lakukan,
Merekam kejadian gila yang terjadi di
hari terakhir kegiatan MPLS angkatan tujuh belas.[..]
0 komentar:
Posting Komentar