Selasa, 06 Maret 2018

ANGKATAN 17: You Only Live Once #INTRO2



Lisa. Nama gadis jangkung tipis dengan tampilan amat mencolok itu bernama Lisa.

“Nama saya Lisa. Saya baru pindah ke Indonesia kemarin, baru mendaftar ke sekolah ini tadi dan langsung disuruh untuk mengikuti kegiatan di sini. Untuk itulah penampilan saya cukup berbeda. Sekolah lama saya tidak memiliki seragam dan rambut ... seperti yang saya katakan tadi, saya belum memersiapkan apapun, termasuk rambut saya ini. Jadi, mohon pengertiannya.”

Gelombang “WOAH” tiba-tiba menyeruak ketika Lisa menyelesaikan kalimatnya.

“Diam!” Panitia kembali berteriak, kali ini lebih tegas. “Dan kamu nekat datang meskipun dengan rambut seperti itu?”

“Sebelum ke sini, saya sudah lebih dulu menghadap beberapa guru bersama orang tua saya, menjelaskan situasinya, dan sekolah memakmuli hal ini. Jadi, dimana letak ‘kenekatan’ saya?”

“Oke.” Panitia yang sedari tadi memegang kendali tersenyum sinis, “Kalau begitu kamu juga sudah siap dengan segala peraturan yang ada di sini. Bukan begitu?”

Anak-anak semakin dibuat takjub saat Lisa justeru tersenyum tipis, “Of course.”

“Skot jump lima puluh kali! Perempuan skot jump lima puluh kali! Untuk laki-laki push up lima puluh kali!”

Anak-anak berdecak. Bukan main hukumannya.

Dan karena Lisa bukan perempuan yang senang memiliki masalah dengan orang lain, jadi ia hanya mengikuti perintah. Hampir seluruh murid baru yang ada di atas podium bersiap untuk melaksanakan hukumannya. Tapi, ya, hampir. Karena ada satu perempuan yang masih berdiri dengan tangan yang diacungkan. Hendak protes rupanya. Keadaan kembali riuh. Bahkan Bian berteriak paling keras dan menjadi provokator untuk menambah suasana semakin panas.

“Diam! Yang bicara saya tarik ke atas!” Beberapa panitia berteriak, bahkan Bian sang provokator mendapat jeweran di telinganya dari pembina regu jingga. “Bian jangan ribut! Nanti saya tarik ke depan, ya, kamu.”

Membuat Bian mengaduh ampun. Beruntung pembina regu mereka tergolong pembina yang pengertian, jadi tidak memperparah keadaan ketika Bian akhirnya mendapatkan bekapan di mulut oleh Abi dan June.

“Kenapa kamu?” si panitia menghampiri seorang perempuan berambut panjang yang dikuncir satu di ujung podium, berdiri di dekat ketua pelaksana yang masih memantau kegiatan.

“Maaf sebelumnya.” Perempuan bername tag kuning dengan nama Jeny tertulis di sana bicara ketika diberi mic. “Nama saya Jeny. Dari regu kuning. Saya perlu tahu kenapa saya ditarik ke atas sini dan harus mendapat hukuman.”

Sang panitia tersenyum miring, “Jadi kamu tidak sadar apa kesalahan kamu?”

Jeny menggeleng, “Pakaian saya rapi, saya mengenakan name tag yang sesuai, saya berambut hitam dan menguncirnya, jadi kenapa saya juga harus menerima hukuman yang sama?”

Keadaan memanas. Kali ini bukan Bian yang menjadi provokator, sementara anak itu masih dibekap oleh Abi dan June, muncul teriakan provokatif lain dari berbagai sudut. Dua di antaranya adalah suara Julian dan Aming yang ber’O’ ria dengan panjang dan kencang. Membuat Ara dan Una, dua teman mereka, melotot dengan hasrat ingin melempar sepatu agar bocah itu diam. Sementara Jae bergeming, dia hanya menatap lurus-lurus pada perempuan berambut mencolok di sana.

Lisa yang sedang berjongkok dan mendengar sindiran tersebut ternyata tidak terpancing. Anak itu justeru terkekeh singkat kemudian menatap Jeny dengan pandangan tertarik.

“Kesalahan kamu itu ...,” si panitia mengangkat tangan kanan Jeny dengan emosi. Rupanya bukan Lisa yang termakan gelombang provokator siswa-siswa, tetapi si panitia. Sang ketua pelaksana yang tadinya masih diam memerhatikan, kini bangkit dari duduknya. Mulai merasa bahwa keadaan semakin memanas.

“Ini! Kami sudah dengan tegas mengatakan bahwa tidak boleh ada yang memakai aksesoris, tapi kamu tetap memakainya. Jadi berhenti protes dan sit up lima puluh kali!”

Semua mata tertuju pada gelang cokelat yang melingkar di pergelangan tangan Jeny.

“Tapi saya sudah meminta izin untuk tetap mengenakan ini langsung pada guru yang bertanggung jawab sejak hari pertama.”

“Apa alasannya?”

“Itu alasan pribadi. Saya tidak bisa menjelaskannya. Saya bahkan sudah mendapat surat keringanan.”

“Oh, ya? Mana suratnya? Kenapa kami tidak menerima selembar surat pun?”

“Saya sudah menunjukkannya di hari pertama. Tanya saja pada pembina regu saya.”

Saat beberapa panitia yang lain bertanya pada pembina regu kuning, sang pembina mengangguk dan menjelaskan situasinya. Tapi rupanya sudah tersulut emosi, si panitia yang sedari tadi berselisih dengan Jeny kembali mendebat.

“Seharusnya kamu tetap membawanya sampai kegiatan berakhir. Kamu tetap mendapat hukuman. Skot jump dua puluh lima kali!”

Anak-anak kembali bersorak, menghasilkan gelombang “WUUU” yang cukup besar. Sementara Jeny refleks berdecak sebelum mengambil posisi jongkok bersama dengan yang lainnya. Rupanya, decakannya terdengar oleh si panitia dan semakin memperburuk keadaan. Si panitia kembali berbalik dan menarik bahu Jeny untuk bangun, “Kamu tadi protes, ha?! Kamu tidak terima?”

Keadaan semakin kacau. Anak-anak semakin gaduh dan bagaimana pun panitia yang tidak lebih dari tiga puluh kepala itu kewalahan menenangkan mereka.

Jeny yang juga sudah emosi mengepalkan lengannya dengan raut wajah yang keras. Ia hanya berusaha sekuat mungkin untuk menahan agar tidak membuat semuanya semakin besar dan terjebak dalam masalah yang sama sekali tidak ia inginkan. Jadi yang Jeny lakukan adalah memejamkan mata dan menghembuskan napasnya keras lewat mulut.

PLAK!

Dan hampir semua orang yang melihat kejadian itu memekik. Kegaduhan tiba-tiba lenyap, seketika. Mereka tidak menyangka atas apa yang terjadi di atas sana. Jeny baru saja mendapat tamparan di pipi kanannya dan ia sangat terkejut.

Sang ketua pelaksana segera bergerak untuk menarik si panitia yang sudah menampar Jeny. Ini kesalahan, tentu saja. Jadi sebagai ketua pelaksana, ia dengan segera berusaha untuk melerai semuanya. Beberapa panitia bahkan langsung ikut naik ke podium dan menjauhkan si panitia yang hampir berjalan mendekati Jeny lagi. “Dia ngeremehin gue!” teriaknya berusaha menjangkau Jeny.

Jeny yang emosinya sudah mencapai ubun-ubun langsung menerjang kerumunan panitia di atas podium dan kemudian melayangkan satu tinju tepat ke hidung si panitia yang menamparnya.

Semua orang di sana membeku. Bahkan panitia lain sempat diam beberapa detik memerhatikan teman mereka terjatuh ke belakang. Ketika darah mengalir dari hidung panitia yang mengaduh di lantai podium, barulah mereka bergerak membantu.

“Saya hanya membalas apa yang saya dapat.” Jeny mengucapkan kalimat itu dengan intonasi yang ditekan. Kemudian ia turun dari podium dan berjalan dengan cepat meninggalkan Aula tanpa dapat siapa pun cegah.

Meninggalkan kegaduhan yang menjadi-jadi di Aula. Hampir seluruh anak masih terkejut melihat apa yang baru saja terjadi. Namun beberapa rupanya memiliki reaksi yang berbeda.

Lisa yang bangun dari jongkoknya dan berdiri sambil tersenyum miring memerhatikan langkah Jeny sebelum anak itu hilang di balik pintu Aula. Ia agak takjub melihat keberanian gadis itu. Lain lagi dengan Jae yang menghembuskan napas setelah menahannya hampir sepanjang kejadian itu terjadi, khawatir jika Lisa ikut terpancing, tapi untung saja tidak. Dan di sisi lainnya Aming terpaku dengan mata yang terus mengekori kepergian Jeny, untuk kemudian mencopot dasi biru yang terlilit di pergelangan tangan kanannya lalu tersenyum.



Sementara beberapa meter dari sana, ada Bian yang mengiringi kepergian Jeny dengan tepuk tangan dan tatapan takjub sekaligus terkejut karena seketika mendapat kandidat lainnya untuk ia jadikan partner in crime. Abi dan June bahkan tidak lagi menghentikan aksi Bian saking terkejutnya.

Di sudut lain ada seorang laki-laki yang menatap datar sambil berdecak kesal karena sepertinya rencana yang sudah ia susun tidak akan mudah untuk dijalani setelah melihat beberapa anak angkatan tujuh belas yang rupanya di luar ekspetasi.

Dan tepat di tengah barisan, berhadapan dengan podium langsung, seorang siswa laki-laki tersenyum sambil memasukkan ponselnya ke dalam saku. Diam-diam ia merasa puas dengan apa yang sedari tadi ia lakukan,

Merekam kejadian gila yang terjadi di hari terakhir kegiatan MPLS angkatan tujuh belas.[..]


0 komentar:

Posting Komentar