Selasa, 06 Maret 2018

ANGKATAN 17: You Only Live Once #INTRO1



Juli 2016.


Tahun ajaran baru. Semua calon siswa SMA Budi Luhur dikumpulkan di Aula, masing-masing regu MPLS di tempatkan secara terpisah. Regu merah mengambil tempat di sudut kanan, berjarak lima meter ada regu kuning di sebelah kirinya, terus seperti itu hingga mereka memenuhi tiga sisi Aula dan membentuk setengah lingkaran besar menghadap sebuah podium. Di atas podium sejak awal sudah di tempati oleh beberapa panitia utama dan lima orang siswa berseragam putih biru dengan warna name tag berbeda.

Aula agak ricuh karena siswa-siswa yang baru masuk saling bergumam dan menyebabkan kebisingan.

“June, si Bian mana?”

Tepat saat pertanyaan itu terlontar dari salah satu siswa bername tag jingga dan berkacamata, yang dibicarakan menyelusup ke barisan dan mengambil duduk secara sembarang. “Hadir. Hhh ...,” ucap Bian dengan napas memburu.

Bian seketika terkekeh melihat raut wajah Abi, temannya yang berkacamata itu cemas, “Santai aja, Bi. Elah. Kayak Bapak Junet nih, kalem.” Siku Bian menyenggol June yang berada di sisi kirinya.

“Berisik,” ucap June tajam. Sementara Abi hanya berdecak malas dan memilih diam tanpa menimpali Bian.

“Mohon perhatiannya.” Suara dari microfone terdengar nyaring dan membuat kerusuhan dengan cepat menyusut. “Dimohon untuk tidak ada yang berbicara selain panitia.”

“Heleh. Sok banget. Emang panitia doang yang punya mulut.” Bian mendesis yang kemudian dibalas oleh sikutan dari Abi, menyuruhnya untuk diam dan menutup mulut saja.

“Kalian lihat ‘kan ada lima orang yang berdiri di depan kalian,” ucap salah seorang panitia perempuan yang baru saja mengambil alih mic dari ketua pelaksana. Perempuan itu menunjuk ke arah tiga orang laki-laki dan dua orang perempuan di depan sana.

“Heh, kalian nggak mau tau gimana caranya gue bisa lolos meskipun te—“

“Gak!” Abi dan June menjawab serentak bahkan sebelum Bian berhasil menyelesaikan kalimatnya. Membuat laki-laki itu mencabikkan bibirnya ke arah dua temannya yang menurutnya tidak asik.

“... karena mereka melakukan kesalahan padahal ini adalah hari terakhir MOS,” ucap si panitia sambil berjalan mengelilingi lima orang di depan sana, “sudah hari terakhir tapi mereka tetap melakukan kesalahan yang seharusnya tidak mereka lakukan. Ck, ck, ck. Untuk itulah kalian kami kumpulkan di sini. Agar mereka bisa dijadikan contoh bahwa kami tidak akan segan-segan menghukum kalian jika memang kalian salah.”

Bian hampir menguap menonton sesuatu yang menurutnya sangat tidak penting di depan sana. Apa faedahnya nontonin orang dihukum? Protesnya dalam hati. Tidak tahan, Bian bangkit dan meminta izin untuk pergi ke toilet pada panitia regunya.

Setelah mendapatkan izin dengan syarat harus kembali sebelum sepuluh menit, Bian berjalan menuju pintu keluar Aula. Namun langkahnya berselisih dengan seorang panitia dan seorang perempuan tanpa seragam di sampingnya. Seketika pandangan Bian tertuju pada perempuan yang berpenampilan kasual; celana jeans hitam dengan atasan sweater abu-abu dan sepasang converse hitam. Saking tertariknya, ia sampai menghentikan langkah dan memutar lehernya mengikuti langkah perempuan itu.

Bukan, bukan karena perempuan jangkung tipis itu adalah perempuan paling cantik yang pernah ia lihat. Most beautiful sampai saat ini masih dipegang oleh Irene, perempuan mungil dari regu ungu. Tapi jika bisa dibandingkan, Bian berani bertaruh bahwa gadis yang baru saja menyedot perhatiannya itu adalah perempuan paling menarik dari siswi mana pun di sini.

Tersadar karena kegaduhan dan desis siswa lain di Aula, Bian segera memutar badan dan kembali pada barisannya. Kali ini ia duduk dengan tenang di tempatnya semula dengan rasa kantuk dan bosan yang langsung lenyap. Ia tahu bahwa sesuatu yang menarik akan terjadi sebentar lagi.

“Gila. Gue pikir lo bakal jadi yang paling nggak waras di sekolah ini.” June menatap ke depan sambil berdecak, tapi kalimat itu ia tujukan untuk Bian yang duduk dengan bahu tegak di sampingnya. Sementara Abi hanya menggeleng setelah refleks beristigfar ketika pertama kali melihat perempuan itu yang kini berdiri di atas podium.

“Gue harus rekrut dia jadi partner in crime gue nih kayaknya.” Bian menatap perempuan itu dengan mata berbinar.



          Sementara di sisi lain, “sebuah komplotan” yang terdiri dari tiga orang laki-laki sudah ikut rusuh melihat sesuatu yang mengejutkan di depan mereka.

“Anjir. Berani banget itu cewek!” Aming berseru diantara desisan siswa lain yang sama terkejutnya. Beberapa menatap dengan bingung, beberapa dengan tatapan mencela, dan beberapa lagi dengan senyum tidak percaya. Aming dan Julian yang duduk di barisan paling belakang sampai menegakkan lehernya hanya untuk melihat dengan jelas perempuan yang baru datang di depan sana.

Namun rupanya, diantara kegaduhan yang berlangsung secara tiba-tiba itu ada satu orang yang jauh lebih terkejut dari siapa pun. Jae yang tadinya sudah hampir jatuh tertidur, tiba-tiba mematung ketika melihat ke sumber kegaduhan. Matanya membulat melihat siapa yang ada di sana.

“Lisa?! Ngapain tuh bocah di sana?!”

Aming dan Julian yang sudah hampir berdiri seketika menengok ke arah Jae dan bingung melihat reaksi laki-laki itu yang kelewat berlebihan.

“Siapa? Lisa? Ja, lu kenal sama dia?” Julian bertanya dengan dahi yang mengernyit. Seingatnya, hampir semua teman Jae adalah temannya juga. Oh, kecuali teman-temannya semasa SD. Mereka bertemu di bangku SMP soalnya. “Temen SD lu?”

Tapi Jae tetap terbengong-bengong meskipun pandangannya sudah tidak terpaku pada perempuan itu. Seolah apa yang ia lihat adalah sesuatu yang amat mengejutkan.

“Diam! Diam! Jangan ribut!”

Para panitia sibuk meredam kehebohan di masing-masing regu yang mereka bina. Kegaduhan perlahan meredup. Meskipun desas-desus masih terdengar dengan intensitas kecil. Tentu saja mereka terkejut, sekaligus merasa tertarik di saat yang bersamaan. Semua kegaduhan di Aula terjadi karena satu hal,

Perempuan di sana datang dengan pakaian kasual tanpa seragam dan rambut panjang yang bagian ujung-ujungnya berwarna kuning, amat mencolok.[..]



0 komentar:

Posting Komentar