Juli
2016.
Tahun ajaran baru. Semua calon siswa
SMA Budi Luhur dikumpulkan di Aula, masing-masing regu MPLS di tempatkan secara
terpisah. Regu merah mengambil tempat di sudut kanan, berjarak lima meter ada
regu kuning di sebelah kirinya, terus seperti itu hingga mereka memenuhi tiga
sisi Aula dan membentuk setengah lingkaran besar menghadap sebuah podium. Di
atas podium sejak awal sudah di tempati oleh beberapa panitia utama dan lima
orang siswa berseragam putih biru dengan warna name tag berbeda.
Aula agak ricuh karena siswa-siswa
yang baru masuk saling bergumam dan menyebabkan kebisingan.
“June, si Bian mana?”
Tepat saat pertanyaan itu terlontar
dari salah satu siswa bername tag jingga dan berkacamata, yang dibicarakan menyelusup
ke barisan dan mengambil duduk secara sembarang. “Hadir. Hhh ...,” ucap Bian
dengan napas memburu.
Bian seketika terkekeh melihat raut
wajah Abi, temannya yang berkacamata itu cemas, “Santai aja, Bi. Elah. Kayak
Bapak Junet nih, kalem.” Siku Bian menyenggol June yang berada di sisi kirinya.
“Berisik,” ucap June tajam. Sementara
Abi hanya berdecak malas dan memilih diam tanpa menimpali Bian.
“Mohon perhatiannya.” Suara dari
microfone terdengar nyaring dan membuat kerusuhan dengan cepat menyusut. “Dimohon
untuk tidak ada yang berbicara selain panitia.”
“Heleh. Sok banget. Emang panitia
doang yang punya mulut.” Bian mendesis yang kemudian dibalas oleh sikutan dari
Abi, menyuruhnya untuk diam dan menutup mulut saja.
“Kalian lihat ‘kan ada lima orang yang
berdiri di depan kalian,” ucap salah seorang panitia perempuan yang baru saja
mengambil alih mic dari ketua pelaksana. Perempuan itu menunjuk ke arah tiga
orang laki-laki dan dua orang perempuan di depan sana.
“Heh, kalian nggak mau tau gimana
caranya gue bisa lolos meskipun te—“
“Gak!” Abi dan June menjawab serentak
bahkan sebelum Bian berhasil menyelesaikan kalimatnya. Membuat laki-laki itu
mencabikkan bibirnya ke arah dua temannya yang menurutnya tidak asik.
“... karena mereka melakukan
kesalahan padahal ini adalah hari terakhir MOS,” ucap si panitia sambil
berjalan mengelilingi lima orang di depan sana, “sudah hari terakhir tapi
mereka tetap melakukan kesalahan yang seharusnya tidak mereka lakukan. Ck, ck,
ck. Untuk itulah kalian kami kumpulkan di sini. Agar mereka bisa dijadikan
contoh bahwa kami tidak akan segan-segan menghukum kalian jika memang kalian
salah.”
Bian hampir menguap menonton sesuatu
yang menurutnya sangat tidak penting di depan sana. Apa faedahnya nontonin orang dihukum? Protesnya dalam hati. Tidak
tahan, Bian bangkit dan meminta izin untuk pergi ke toilet pada panitia
regunya.
Setelah mendapatkan izin dengan
syarat harus kembali sebelum sepuluh menit, Bian berjalan menuju pintu keluar
Aula. Namun langkahnya berselisih dengan seorang panitia dan seorang perempuan
tanpa seragam di sampingnya. Seketika pandangan Bian tertuju pada perempuan
yang berpenampilan kasual; celana jeans hitam dengan atasan sweater abu-abu dan
sepasang converse hitam. Saking tertariknya, ia sampai menghentikan langkah dan
memutar lehernya mengikuti langkah perempuan itu.
Bukan, bukan karena perempuan
jangkung tipis itu adalah perempuan paling cantik yang pernah ia lihat. Most
beautiful sampai saat ini masih dipegang oleh Irene, perempuan mungil dari regu
ungu. Tapi jika bisa dibandingkan, Bian berani bertaruh bahwa gadis yang baru
saja menyedot perhatiannya itu adalah perempuan paling menarik dari siswi mana
pun di sini.
Tersadar karena kegaduhan dan desis
siswa lain di Aula, Bian segera memutar badan dan kembali pada barisannya. Kali
ini ia duduk dengan tenang di tempatnya semula dengan rasa kantuk dan bosan
yang langsung lenyap. Ia tahu bahwa sesuatu yang menarik akan terjadi sebentar
lagi.
“Gila. Gue pikir lo bakal jadi yang
paling nggak waras di sekolah ini.” June menatap ke depan sambil berdecak, tapi
kalimat itu ia tujukan untuk Bian yang duduk dengan bahu tegak di sampingnya.
Sementara Abi hanya menggeleng setelah refleks beristigfar ketika pertama kali
melihat perempuan itu yang kini berdiri di atas podium.
“Gue harus rekrut dia jadi partner in
crime gue nih kayaknya.” Bian menatap perempuan itu dengan mata berbinar.
Sementara di sisi lain, “sebuah
komplotan” yang terdiri dari tiga orang laki-laki sudah ikut rusuh melihat
sesuatu yang mengejutkan di depan mereka.
“Anjir. Berani banget itu cewek!”
Aming berseru diantara desisan siswa lain yang sama terkejutnya. Beberapa
menatap dengan bingung, beberapa dengan tatapan mencela, dan beberapa lagi
dengan senyum tidak percaya. Aming dan Julian yang duduk di barisan paling
belakang sampai menegakkan lehernya hanya untuk melihat dengan jelas perempuan
yang baru datang di depan sana.
Namun rupanya, diantara kegaduhan
yang berlangsung secara tiba-tiba itu ada satu orang yang jauh lebih terkejut
dari siapa pun. Jae yang tadinya sudah hampir jatuh tertidur, tiba-tiba
mematung ketika melihat ke sumber kegaduhan. Matanya membulat melihat siapa
yang ada di sana.
“Lisa?! Ngapain tuh bocah di sana?!”
Aming dan Julian yang sudah hampir
berdiri seketika menengok ke arah Jae dan bingung melihat reaksi laki-laki itu
yang kelewat berlebihan.
“Siapa? Lisa? Ja, lu kenal sama dia?”
Julian bertanya dengan dahi yang mengernyit. Seingatnya, hampir semua teman Jae
adalah temannya juga. Oh, kecuali teman-temannya semasa SD. Mereka bertemu di
bangku SMP soalnya. “Temen SD lu?”
Tapi Jae tetap terbengong-bengong
meskipun pandangannya sudah tidak terpaku pada perempuan itu. Seolah apa yang
ia lihat adalah sesuatu yang amat mengejutkan.
“Diam! Diam! Jangan ribut!”
Para panitia sibuk meredam kehebohan
di masing-masing regu yang mereka bina. Kegaduhan perlahan meredup. Meskipun
desas-desus masih terdengar dengan intensitas kecil. Tentu saja mereka
terkejut, sekaligus merasa tertarik di saat yang bersamaan. Semua kegaduhan di
Aula terjadi karena satu hal,
Perempuan di sana datang dengan
pakaian kasual tanpa seragam dan rambut panjang yang bagian ujung-ujungnya
berwarna kuning, amat mencolok.[..]
0 komentar:
Posting Komentar