Selasa, 17 April 2018

ANGKATAN17 : #3 Rasa Canggung dan Buronan Sekolah

Aming melirik jam dinding berkali-kali. Sudah sekitar lima menit yang lalu bel istirahat berbunyi, tapi Bu Kinanti tidak kunjung angkat kaki dari kelas 11 IPA 3. Beliau masih bersikeras bahwa mereka harus menyelesaikan terlebih dahulu tugas yang diberikan, baru setelah itu boleh keluar kelas. Sementara ponselnya sudah beberapa kali mendapat chat dari Jae.
M. Jae Zikrullah : mau ikutan gak woi lama amat
M. Jae Zikrullah : ini bnyk adek kls yg mau gabung
Arimingga Dj : bentar lg gue ksana
M. Jae Zikrullah : keburu msuk lg ntar
M. Jae Zikrullah : dua menit gak nongol tempat penuh
Matanya berpindah dari layar ponsel menuju buku teman sebangkunya, “Hob, udah belum? Lama amat.”
Hobi mendelik, “Bacot. Kerjain sendiri kalau mau cepet!”
Seketika Aming memerlihatkan cengirannya, “Aduh, Hobikuuu, jangan ngambek gitu dong! Ayo semangat!”
Setelah itu ia melirik ke kursi depan, di sana terdapat seorang perempuan yang duduk sendirian. “Rosi!” Aming mencolek bahu Rosi dengan ujung pulpen. Perempuan dengan rambut panjang bergelombang dan poni tipis itu menengok ke belakang, “Iya? Kenapa Aming?”
Suara perempuan itu lembut dan agak pelan, tapi masih bisa didengar oleh dua orang yang ada di belakangnya.
“Hehehe. Rosi udah selesai belum?”
Hobi mendelik dan melemparkan pandangan mencela pada Aming yang sok lembut begitu.
“Udah.”
“Uh, cocok!” Aming bertepuk tangan satu kali, “Liat boleh, yaaa?”
“Duh, bukannya nggak mau ngasih liat. Tapi bukuku udah dipinjem Joya pas lewat tadi. Maaf ya.”
“Yaaah.” Aming berseru kecewa sambil melirik ke arah empat orang perempuan di barisan ujung yang sedang sibuk sok berdiskusi. Sayangnya, Bu Kinanti tidak memerbolehkan siswa untuk keluar dari kursi, meskipun memerbolehkan adanya diskusi. “Lagian si Joya jauh amat minjemnya ujung ke ujung elah.”
“Aku tau caranya. Mau aku ajarin?”
“Hehehehe.” Kali ini Aming cengengesan dengan lebih panjang.
“Percuma. Otaknya udah berkarat saking nggak pernah dipakenya. Tuh. Sekalian kumpulin nanti ke depan.” Hobi melemparkan buku catatannya yang langsung disambut oleh Aming dengan suka cita. Ia langsung menyalinnya dengan cepat setelah mengucapkan terima kasih atas tawaran Rosi. Setelah mengumpulkan ke depan, Aming kembali mendekat ke kursinya, tapi tidak benar-benar kembali ke sana, “Hob!”
Ketika Hobi menengok, dua buah buku terlempar ke arahnya yang untung dengan sigap ia tangkap.
“Armingga! Jangan lempar-lempar dalem kelas!” Bu Kinanti menegur dari kursi guru, membuat Aming refleks mengucapkan maaf pada Bu Kinanti sebelum kembali pada Hobi, “Futsal, Hob, futsal!”
Setelahnya, anak itu berlari dengan kekuatan super keluar kelas. Sementara Hobi mengembalikan terlebih dahulu beberapa alat tulis yang ia pinjam, barulah ia beranjak dari kursinya. Namun ketika baru berjalan satu langkah, Rosi yang sedari tadi duduk tiba-tiba beranjak dan berbalik, menyebabkan mereka hampir saja bertubrukan. Beruntung Hobi refleks berhenti.
“Eh, maaf.” Rosi berujar cepat sambil mengambil satu langkah mundur. Hobi hanya tersenyum canggung dan menggumamkan kata iya dengan pelan. Ia memutuskan untuk diam di tempat, berinisiatif mempersilakan Rosi mengambil langkah terlebih dahulu. Tapi rupanya Rosi tidak kunjung bergerak dan menyebabkan mereka justeru saling berhadapan dalam diam.
Hobi melirik Rosi yang tanpa diduga melirik juga ke arahnya. Mata mereka bertemu satu detik untuk kemudian sama-sama melempar pandang ke berbagai arah. Tiba-tiba saja kecanggungan menghinggapi keduanya.
“Emh,” Hobi berdeham sambil mengelus leher bagian belakangnya, sebelum kemudian bergerak melipir. Memberi jalan pada Rosi yang setelah sedikit mencuri pandang ke arahnya, dengan cepat kembali mengambil langkah.
Setelah Rosi berlalu, barulah Hobi berjalan menuju pintu keluar dengan kecanggungan yang masih terasa. Sudah hampir dua minggu satu kelas, duduk di belakang perempuan itu, tapi entah kenapa rasanya masih canggung luar biasa jika berhadapan dengan Rosi tanpa kehadiran Aming yang biasanya menjadi pencair.
Mungkin karena selama kelas sepuluh tahun lalu ia sama sekali tidak mengetahui keberadaan Rosi sama sekali. Ya, mungkin.
***
Di kantin keadaan sudah benar-benar di luar kendali. Lautan manusia yang menjadi buas ketika lapar, menyerang beberapa tempat penjual yang ada. Setelah Ara berhasil melewati gelombang maut itu, ia langsung menuju meja yang paling dekat dengan lapangan futsal.
“Kenapa dah setiap istirahat orang-orang mendadak jadi pada buas,” keluh Ara sambil meletakkan nampan berisi tiga minuman dan mengambil duduk di depan Una yang sedang membuka bekal.
“Karena mereka bukan Oriza Rahesti yang buasnya everytime,” timpal Jammy yang sedang sibuk dengan ponselnya di samping Una, membuat Ara mencabik.
“Bawa apa, Na, hari ini?” tanya Ara sambil melirik ke arah bekal yang Una bawa.
“Taraaa! Donut nut nut.”
Setelahnya Una menyuapi Ara satu bulatan donat yang ia bawa. Setelah mendengar Ara bergumam enak dengan mulut penuh, Una tersenyum bangga, “Iyalah. Masakan Bunda nggak ada yang gagal.”
Una mengambil jus strawberry dan sebelum berhasil mencapai mulutnya, sebuah tangan lebih dulu menarik minuman itu. “Eh eh eh, Bobby kebiasaan, deh ah!”
Sang tersangka ternyata adalah Arravi Bobby Chandra. Anak itu tiba-tiba datang dan duduk di samping Ara setelah mencuri minuman milik Una. Bukan main, anak itu menyedot hampir setengah jus milik Una sebelum kembali menaruhnya di meja.
“Aus gue, Na,” ucapnya sambil menarik napas pendek-pendek.
“Ih nyebelin banget sampe setengah gini!”
“Yaelah medit banget si lo sama sohib sendiri.”
Una mendengus, “Masalah perut aja lu manggil gue sohib. Sebel gue kenapa harus satu kelas lagi sama elu. Awas aja bikin hari-hari gue dipenuhi kesialan lagi kayak waktu kelas sepuluh.”
Bobby mencabikkan bibir sebelum matanya menemukan tupperware berisi donat bulat-bulat dan mencomotnya. “Duh kangen sama masakan Bunda.”
Una semakin sebal dibuatnya, tapi Ara dengan segera menyuapi Una dengan satu donat sebelum mendengar Una berkhotbah lebih panjang.
“Eh, tadi Jeny nanyain lo di kelas.”
Seketika Bobby tersedak dan batuk-batuk mendengar penuturan Jammy. Membuatnya kembali mencuri minuman milik Una tanpa sempat Una cegah.
“Ya Allah hidup hamba kenapa gini-gini amat dah. Berasa buronan gue.”
“WAH!” Tiba-tiba Una berseru, membuat Jammy, Ara dan bahkan Bobby sendiri terkejut, beberapa anak dari meja lain sampai mendelik penasaran. “PASTI MASALAH VID—“
Sebelum selesai, Bobby membekap mulut Una terlebih dahulu, yang langsung mendapat pukulan keras di tangan dari Ara. “Ssttt!” Bobby mem-belo-kan matanya yang sipit ke arah Una.
“Lagian nggak belajar dari pengalaman banget! Mau dapet cap lima jari lagi dari Jeny, ha? Nggak ada kapoknya ampun, deh!” Una bersungut-sungut memarahi Bobby sementara yang dimarahi merosot menyenderkan bahunya pada senderan kursi.
“Kali ini bukan gue sumpah! Kenapa nggak ada yang percaya banget, sih,” ujar Bobby melas. “Gue nggak simpen videonya lagi bahkan. Kapok. Nggak mau lagi deh ditampol sama Jeny, duit jajan juga pake dipotong.”
“Terus siapa yang nyebarin dong? Kan dulu elu yang rekam.”
“Bisa aja orang lain, Ra.” Jammy menaruh ponselnya di meja, alisnya agak menukik ketika memberi spekulasi, “Meskipun Bobby yang rekam dan dia juga yang nyebarin tahun lalu, bukan berarti yang kali ini dia juga tersangkanya. Bisa jadi ada anak lain yang save videonya waktu itu, terus dia sebar lagi pas timingnya cocok sama ajaran baru tahun ini.”
“Emang yang ngirim nggak ada unamenya gitu?”
Bobby menggeleng, “Nggak ada. WAnya langsung nggak aktif beberapa menit kemudian setelah nyebarin itu video di grup chat anak angkatan delapan belas. Beberapa anak udah ada yang save videonya, jadi ya kesebar di lingkungan sekolah. Untungnya, sih, nggak sampe ada yang upload ke luar. Frustasi gue anjir.”
“Yaudah sekarang hadapi aja Jeny. Bilang yang sejujur-jujurnya kalau kali ini bukan elu yang nyebarin. Dulu ‘kan udah sempet damai. Sempet elu pepet juga ‘kan dia?”
“Mata elo! Dikata gampang ngadepin Jeny yang lagi dipenuhi hasrat membunuh kek gitu.”
“Yeee gue ‘kan Cuma ngasih saran, Anak Onta!”
Sementara Una dan Bobby terlibat adu mulut, seorang perempuan yang sedari tadi jadi topik pembahasan mereka masuk ke kantin dari sisi lapangan futsal yang berada tepat di depan kantin. Menjenjangkan leher mencoba mencari keberadaan Bobby yang katanya ada di sini.
Ketika matanya berhasil menemukan laki-laki itu di ujung sana, sedang berkumpul dengan beberapa anak lainnya, tiba-tiba emosinya kembali memuncak.
“Bobby!”
***

0 komentar:

Posting Komentar