KIM SEOK JIN:
PERSIMPANGAN
“Ayo kita sudahi.”
Kemudian hening. Setelah kalimat itu
keluar dari salah satu pengecap diantara dua manusia yang sedang berhadapan
ini, keadaan menjadi senyap.
Tiba-tiba saja keduanya menjadi lebih
peka pada apa-apa yang ada di sekitar mereka. Daun-daun mapel kuning
kecokelatan yang jatuh perlahan kemudian mendarat dengan mulusnya di atas
permukaan rumput hijau, angin yang berhembus membuat pori-pori rasanya
membesar, hingga angin musim gugur dengan bau khas yang entah kenapa, tidak
sedap lagi untuk dihirup.
Semuanya menjadi lebih terasa—mereka
lebih peka. Katanya, kalau kita sedang berada dalam situasi yang tidak membuat
nyaman, maka atensi kita akan berkeliaran kemana-mana. Dan detik ini Kim Seok
Jin memercayai hal itu.
Bahkan telinganya baru saja berhasil
mendengar suara kepakan sayap dari burung gereja yang bahkan sayapnya saja
tidak lebih besar dari kepalan tangannya.
“Berat, Jin ....”
Dan demi alam semesta beserta segala
isinya, lirihan suara gadis itu sudah terasa layaknya belati yang berhasil
mengiris sesuatu yang ada di dalam dada Seok Jin. Tidak terlihat, tapi rasa
sakitnya jelas menusuk.
Lelaki dua puluh enam tahun itu
menghembuskan napas, sebelum akhirnya berani menatap manik gadisnya.
“Tapi kita harus,” ucap Seok Jin
pelan.
Sebuah genangan terlihat di sana.
Bening, hampir jatuh, dan membuat Seok Jin merasa semakin kesakitan.
Namun bagaimana pun, Seok Jin tidak
bisa terus-menerus menggenggam gadis ini lebih lama lagi. Karena semakin lama,
justeru akan semakin menyulitkan mereka. Waktu enam tahun saja sudah cukup
membuatnya bingung; bagaimana caranya
untuk bangkit setelah segalanya berakhir?
Gadisnya menggeleng, “Aku tidak bisa,
Seok Jin ....”
Seberapa besar pun ia menahan untuk
tidak lagi menyentuh gadis ini, nyatanya Seok Jin tetap meraih tangan gadisnya lalu
menggenggamnya. Tidak tahan melihat gadisnya dirundung sedih yang sangat dalam
begini.
“Dari segala perbedaan yang menjadi
batas kita, kamu tahu mana yang paling menyakitkan untukku?”
Seok Jin meneguk satu kali. Percayalah,
bahwa kondisi ini pun sulit baginya. Sangat.
“Saat aku benar-benar sadar bahwa
untuk menuntunmu ke surga yang sama pun aku tidak bisa.”
Kemudian gadisnya terisak. Seok Jin
tidak sanggup, direngkuhnya bahu bergetar milik gadis itu. Berusaha meredam
isak tangis gadisnya yang justeru semakin menjadi. Semakin membuatnya luar
biasa sesak.
“Jin ...,” panggil gadisnya dengan
suara amat bergetar, “Kenapa kita harus begini?”
Akan sangat munafik jika menyebut
nama Tuhan di saat-saat seperti ini: ketika justeru sebagian dari dirinya ingin
mengenyampingkan segalanya. Tapi, Ya
Tuhan, kenapa rasanya bisa sesakit ini?
“Maafkan aku. Maafkan aku ....”
Lebih dari yang terjadi hari ini,
Seok Jin benar-benar merasa bersalah atas segalanya; kehadiran kita diantara mereka.
“Kita tidak punya pilihan lain selain
berpisah. Maafkan aku.”
Sebuah panah menancap. Seok Jin
mengeratkan pelukannya.
Karena seberapa lama pun mereka
berusaha melangkah bersama, sejauh apapun mereka memutuskan untuk berlari, pada
akhirnya satu-satunya tempat yang akan mereka temui di ujung sana adalah satu:
Persimpangan jalan untuk kemudian saling mengabaikan. []
0 komentar:
Posting Komentar