Senin, 26 Februari 2018

KIM SEOK JIN: PERSIMPANGAN

KIM SEOK JIN: PERSIMPANGAN




“Ayo kita sudahi.”

Kemudian hening. Setelah kalimat itu keluar dari salah satu pengecap diantara dua manusia yang sedang berhadapan ini, keadaan menjadi senyap.

Tiba-tiba saja keduanya menjadi lebih peka pada apa-apa yang ada di sekitar mereka. Daun-daun mapel kuning kecokelatan yang jatuh perlahan kemudian mendarat dengan mulusnya di atas permukaan rumput hijau, angin yang berhembus membuat pori-pori rasanya membesar, hingga angin musim gugur dengan bau khas yang entah kenapa, tidak sedap lagi untuk dihirup.

Semuanya menjadi lebih terasa—mereka lebih peka. Katanya, kalau kita sedang berada dalam situasi yang tidak membuat nyaman, maka atensi kita akan berkeliaran kemana-mana. Dan detik ini Kim Seok Jin memercayai hal itu.

Bahkan telinganya baru saja berhasil mendengar suara kepakan sayap dari burung gereja yang bahkan sayapnya saja tidak lebih besar dari kepalan tangannya.

“Berat, Jin ....”

Dan demi alam semesta beserta segala isinya, lirihan suara gadis itu sudah terasa layaknya belati yang berhasil mengiris sesuatu yang ada di dalam dada Seok Jin. Tidak terlihat, tapi rasa sakitnya jelas menusuk.

Lelaki dua puluh enam tahun itu menghembuskan napas, sebelum akhirnya berani menatap manik gadisnya.

“Tapi kita harus,” ucap Seok Jin pelan.

Sebuah genangan terlihat di sana. Bening, hampir jatuh, dan membuat Seok Jin merasa semakin kesakitan.

Namun bagaimana pun, Seok Jin tidak bisa terus-menerus menggenggam gadis ini lebih lama lagi. Karena semakin lama, justeru akan semakin menyulitkan mereka. Waktu enam tahun saja sudah cukup membuatnya bingung; bagaimana caranya untuk bangkit setelah segalanya berakhir?

Gadisnya menggeleng, “Aku tidak bisa, Seok Jin ....”

Seberapa besar pun ia menahan untuk tidak lagi menyentuh gadis ini, nyatanya Seok Jin tetap meraih tangan gadisnya lalu menggenggamnya. Tidak tahan melihat gadisnya dirundung sedih yang sangat dalam begini.

“Dari segala perbedaan yang menjadi batas kita, kamu tahu mana yang paling menyakitkan untukku?”

Seok Jin meneguk satu kali. Percayalah, bahwa kondisi ini pun sulit baginya. Sangat.

“Saat aku benar-benar sadar bahwa untuk menuntunmu ke surga yang sama pun aku tidak bisa.”

Kemudian gadisnya terisak. Seok Jin tidak sanggup, direngkuhnya bahu bergetar milik gadis itu. Berusaha meredam isak tangis gadisnya yang justeru semakin menjadi. Semakin membuatnya luar biasa sesak.

“Jin ...,” panggil gadisnya dengan suara amat bergetar, “Kenapa kita harus begini?”

Akan sangat munafik jika menyebut nama Tuhan di saat-saat seperti ini: ketika justeru sebagian dari dirinya ingin mengenyampingkan segalanya. Tapi, Ya Tuhan, kenapa rasanya bisa sesakit ini?

“Maafkan aku. Maafkan aku ....”

Lebih dari yang terjadi hari ini, Seok Jin benar-benar merasa bersalah atas segalanya; kehadiran kita diantara mereka.

“Kita tidak punya pilihan lain selain berpisah. Maafkan aku.”

Sebuah panah menancap. Seok Jin mengeratkan pelukannya.

Karena seberapa lama pun mereka berusaha melangkah bersama, sejauh apapun mereka memutuskan untuk berlari, pada akhirnya satu-satunya tempat yang akan mereka temui di ujung sana adalah satu: Persimpangan jalan untuk kemudian saling mengabaikan. []


0 komentar:

Posting Komentar