Rabu, 28 Februari 2018

PARK JIMIN: LA CONTINUA

PARK JIMIN: LA CONTINUA



Angin musim dingin berhembus, membuat semak-semak berdesik. Ji Hwa memperhatikan burung-burung mengepakkan sayapnya dan meluncur dari ujung-ujung pohon pinus, seolah akan menjatuhkan diri pada lautan di bawah sana—padahal sebelum berhasil menyentuh setitik deburan ombak, sayapnya kembali terkepak membawa tubuh kecilnya terayun terbang; tinggi dan semakin tinggi.

Kaki telanjangnya bergerak mengambil satu langkah lagi, membuatnya berdiri kokoh di bibir tebing. Saat angin kembali berhembus, ia merentangkan kedua lengannya dan memejamkan mata. Angin musim dingin menusuk permukaan kulitnya saat ia menarik napas dalam-dalam; meresapi oksigen yang seperti aliran es menjalar dan memenuhi rongga paru-parunya. Seketika ia merasa hidup kembali.

“Ji!”

Ji Hwa berdesis malas dan membuka matanya dengan penuh keengganan. Saat berbalik, seorang laki-laki tengah menatapnya dengan mata yang diselimuti kepanikan.

“Untuk apa kemari?” Ji Hwa melipat tangannya di dada.

“Harusnya aku yang menanyakan hal itu pada kamu! Untuk apa kamu berdiri di sana?!” Laki-laki itu setengah berteriak.

Ujung bibir Ji Hwa sedikit tertarik, tapi ia menahannya. Lelaki itu memang selalu begitu; dipenuhi kepanikan. “Aku tidak perlu memberitahu kamu, Park Jimin.”

Raut wajah Jimin berubah, meskipun hampir tidak kentara. “Ehm ... ya, memang, sih.” Jimin berdeham pelan, “Tapi aku sudah berjanji untuk melindungi kamu saat Yoongi ... tidak ada,” ucapannya melemah di ujung kalimat saat menyadari bahwa apa yang ia ucapkan adalah sebuah kesalahan besar.

Mendadak wajah Ji Hwa menjadi sangat datar. Tatapannya yang dingin hampir menyamai udara musim dingin; sama-sama menusuk dan membuat bulu kuduk Park Jimin berjengit.

“Ma-maaf.” Mata Jimin bergerak liar, “Aku hanya cemas kamu akan jatuh.”

Tapi Ji Hwa justeru tersenyum miring, “Memang itu tujuanku. Siapa tahu aku bisa bertemu dengan temanmu yang brengsek itu di bawah sana.”

Jimin kembali panik, “Jangan ngaco! Bagaimana kalau itu sungguhan terjadi? Kamu bisa mati karena tenggelam sekaligus kedinginan. Kenapa, sih, kamu suka sekali mencari bahaya di saat teman yang lain justeru sedang asik menikmati liburan musim dingin?!”

“Karena si brengsek itu juga pergi saat liburan musim dingin.” Ji Hwa mengatakannya dengan santai.

Jimin menghembuskan napasnya. Melihat Ji Hwa dengan pandangan penuh rasa sedih. “Berhenti merindukannya.”

Raut Ji Hwa kembali mengeras, ia bahkan menekan gigi-giginya, “Aku tidak merindukannya!”

“Lalu untuk apa kamu berusaha melompat ke bawah sana setiap liburan musim dingin? Berharap kamu bisa bertemu dengannya dan membawanya kembali, begitu?”

Napas Ji Hwa memburu, menatap Jimin penuh nyalang sebelum akhirnya ia membalikkan badannya. Satu kali lagi melangkah, sudah bisa dipastikan bahwa ia akan terjun bebas dan jatuh ke dalam air sedingin es dengan ombak yang cukup besar.

“Baiklah.” Jimin kembali menghembuskan napas sambil menatap punggung Ji Hwa, “Lompat saja kalau berani. Tahun lalu juga akhirnya kamu hanya berbalik dan kembali menangis.”

“Berhenti ikut campur! Lupakan janji bodohmu itu. Toh kalau pun kali ini aku benar-benar terjun, kamu tidak akan berani menyelamatkanku.”

Ji Hwa menatap ombak di bawah sana dengan tatapan kosong. Ia perlahan mundur ke belakang, “Dan juga, asal kamu tahu. Aku memang tidak pernah memiliki niat untuk membawanya kembali, karena aku tahu bahwa itu tidak mungkin. Jadi dari pada membawanya kembali ...,” Ji Hwa berhenti tepat di langkah kelima, “Lebih baik aku yang ikut bersamanya pergi.”

Dan setelah mengucapkan kalimat itu, Ji Hwa berlari dengan penuh keyakinan. Ia melompat di ujung tebing, merasakan apa yang mungkin burung-burung itu rasakan saat di atas awan. Bedanya, jika burung-burung itu kembali mengayun dan terbang lebih tinggi, Ji Hwa justeru meluncur dengan bebas dan lurus ke bawah sana. Jatuh ke dalam air yang berombak.

Tanpa sempat Jimin cegah.


***


          Ji Hwa berdiri di ujung tebing. Kebingungan. Hey, bukankah tadi ia sudah melompat bahkan sebelum Jimin berhasil meraih tangannya?

“Aish, si bodoh ini.”

Mendadak Ji Hwa membeku. Kemudian secepat kilat ia membalikkan tubuhnya. Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat ketika menemukan laki-laki yang sangat ia rindukan berdiri beberapa meter darinya. Melipat tangannya dan menyandarkan tubuhnya pada salah satu pohon pinus.

“Kenapa kamu ke sini?”

Emosi Ji Hwa naik hingga ubun-ubun. Ia mengambil kerikil-kerikil dan melemparkannya dengan penuh emosi ke arah Yoongi. “Brengsek! Laki-laki brengsek! Kemana saja kamu, ha?! Bisa-bisanya kamu pergi begitu saja tanpa pamit padaku!”

Napas Ji Hwa memburu dan ia berhenti ketika melihat Yoongi masih diam dan tenang; sama seperti biasanya.

“Bisa-bisanya kamu pergi tanpa mengajakku. Jahat sekali, sungguh ....” Tangisnya meledak.

“Kamu sendiri belum menjawab pertanyaanku. Kenapa kamu ke sini?”

Ji Hwa terisak sambil menatap Yoongi, “Aku merindukanmu, bodoh. Aku rindu. Dan ada banyak hal yang ingin aku sampaikan. Kenapa kamu seperti itu? Kenapa kamu pergi? Ke-kenapa ...,” ucapannya terputus, tapi Ji Hwa mencoba untuk menelan segala emosinya, “Kenapa kamu meninggalkan aku?” cicit Ji Hwa pada akhirnya.

Yoongi berdiri dengan sempurna, “Ji ... di dunia ini, banyak hal yang terjadi. Dan jika kamu bertanya kenapa, maka jawabannya hanya akan berpusat pada satu titik. Takdir.”

“Tapi kamu bahkan memotong jalan takdirmu sendiri, Yoon.”

“Ya, aku sadar ketika segalanya sudah terlambat.” Yoongi tersenyum tipis, “Untuk itu, jangan lakukan kesalahan yang sama denganku.”

Ji Hwa masih terisak, “Kamu tahu bahwa tidak ada lagi yang dapat aku percayai selain kamu.”

“Maka mulai dari sekarang, belajarlah percaya pada orang lain. Terbuka padanya dan tetaplah bertahan.” Yoongi berjalan mendekati Ji Hwa perlahan, ia masih tersenyum dengan tipis. “Ji, la continua ....”

Dan ketika Yoongi hampir berhasil ia sentuh, segalanya menjadi gelap.


***

“Ya Tuhan, Ji Hwa ...,” Ji Hwa membuka matanya perlahan dan yang pertama kali ia lihat adalah si laki-laki penuh kepanikan, Jimin. “Dokter! Dokter, Ji Hwa sudah sadar!”

Saat Jimin yang tersenyum kelewat lebar di depannya hendak beranjak, Ji Hwa menahan tangannya.

“Hei, aku harus memanggil Dokter dan Kakakmu.”

Ji Hwa hanya diam memperhatikan Jimin yang kemudian dengan canggung kembali duduk, “Oke. Aku bisa di sini dulu, tentu saja.”

Ingin rasanya Ji Hwa terkekeh, tapi yang keluar ternyata hanya senyuman tipis. “Jimin ...,” suara Ji Hwa benar-benar serak, “Tolong bantu aku.”

Jimin mengernyit, “Untuk?”

Air mata menggenang di pelupuk matanya, tapi Ji Hwa berusaha sekuat mungkin untuk tersenyum dengan baik, “Bantu aku melanjutkan hidup.”

Dan akhirnya Ji Hwa mengerti bahwa seperti apa yang Yoongi sampaikan, segalanya masih, akan, dan harus tetap berlanjut.[]




0 komentar:

Posting Komentar