[ KIM TAE HYUNG : SI BOCAH ALIEN ]
Baru satu minggu aku pindah ke sini.
Sebuah desa bernama Goung-ju*. Penah dengar? Tidak? Sama. Sebelum ini, aku
tidak pernah mendengarnya sama sekali. Tapi Ayah dan Ibu bersikeras bahwa
tempat ini adalah tempat yang paling sempurna untuk bermain sepeda—padahal
tahun ini usiaku genap tujuh tahun dan aku tahu bahwa mereka hanya mengatakan
itu untuk menghiburku saja.
Desa ini benar-benar kecil. Sungguh.
Di sepanjang jalan hanya ada pohon berwarna kecoklatan, kemudian di belakangnya
terhampar tanah lapang berumput hijau dan satu anak sungai dengan bebatuan.
Angin di sini lebih kencang dari di Kota hingga terus-menerus menerbangkan
anak-anak rambutku yang tidak terkuncir. Tapi kabar baiknya adalah paru-paruku
benar-benar terisi penuh dengan oksigen. Ketika aku menghirup udara, oksigennya
masuk ke hidung lalu merambati saluran pernapasanku seperti aliran air es
mengalir di sana. Sejuk dan melegakan.
Desa ini sepi sekali. Jarak dari satu
rumah ke rumah lainnya cukup jauh. Dan di sini jarang ada kendaraan lewat.
Penduduk yang ada lebih banyak berjalan kaki atau menggunakan sepeda untuk
pergi kemana-mana. Hm, sebenarnya cocok untuk bermain sepeda. Sempurna!
Tapi tetap saja aku benci
pindah-pindah rumah terus. Sungguh. Ini sudah kali keempat sejak aku kecil. Dan
aku sama sekali tidak suka beradaptasi; bertemu orang-orang baru, menjaga sikap
agar bisa diterima di lingkungan baru, dan tidak boleh bersepeda sambil mandi
hujan karena kata Ibu,
“Nanti, ya, kalau kita sudah tahu
seluk beluk lingkungan ini. Takut nanti kamu tersesat.”
Huh,
menyebalkan!
Tapi yang paling buruk dari segalanya
adalah—
“Hei!”
—kehadiran Si Bocah Alien.
Aku hanya mendengus tanpa berniat
menjawab sapaan bocah itu. Berusaha fokus pada sepatu yang sedang aku cat
dengan warna kuning—habisnya aku bosan dengan sepatu biruku ini, jadi aku
mengubah warnanya—seperti yang disarankan oleh Ayah. Dia kini mengambil duduk
bersila di depanku sambil tersenyum lebar.
“Namaku Tae Hyung. Kim Tae Hyung.”
Mulai lah si alien ini mengoceh.
Sudah tujuh hari aku di sini dan sudah tujuh hari pula dia mengucapkan kalimat
yang sama. Berulang-ulang. Mengoceh seperti kakek tua.
“Aku anak bungsu. Kakak pertamaku
biasa memanggilku Taetae. Biasanya aku tidak mengizinkan orang lain selain
Kakakku memanggilku begitu, tapi kalau untuk kamu boleh.”
Aku mencelupkan koas kecil pada
kaleng cat lalu mengoleskannya pada pinggiran sepatu. Karena catnya nakal—bukan
karena aku tidak handal, ya!—jadi mengenai tanganku juga.
“Hei, singkirkan kucing itu atau
kulempar dia ke sungai!”
Uh, tangan si kucing itu hampir
menumpahkan kaleng catku!
“Yeontan, tidak boleh begitu. Minta
maaf ayo.”
Nah ‘kan? Sinting memang bocah ini.
Bicara dengan hewan dia!
“Jian?”
Bodo. Aku tidak mau menengok! Aku
bukan alien! Aku tidak mengerti bahasamu.
“Kamu cantik.”
Eh?! Aku mendelik, melotot ke arahnya
yang—uh, bagaimana bisa masih tersenyum lebar begitu setelah aku pelototi?!
“Bukan kataku. Kata dia,” unjuk bocah
itu pada anak kucing di pangkuannya. “Kata Yeontan. Kamu cantik, Jian.”
Sepertinya aku merasa cuaca memanas
karena ketika aku menemukan pantulan wajahku pada mobil milik Ayah, wajahku
memerah. Ini pasti karena cuaca di Musim Semi memang kelewat panas!
Aku mendengus sakali lagi, mengusap
keningku dimana ada sehelai anak rambut yang terbawa angin dan menempel di
sana. Kemudian tidak sengaja jadi mencoret keningku dengan cat. Ah!
“Hehehe.”
Anak itu tertawa. Menertawakanku?
Terserah. Aku tidak peduli!
“Jian?”
Apalagi coba? Apa mulutnya gatal
kalau dia diam dan tidak bicara beberapa detik saja?
“Kamu cantik.”
Kata siapa lagi sekarang, hah? Rumput
yang bergoyang?
“Kataku.”
Aku kembali mendelik padanya. Tapi
kemudian berusaha meredam kesal dengan berujar sok kalem, “Aku tahu.”
“Tapi aku belum suka pada kamu.”
Apa katanya? Rasa-rasanya wajahku
jadi mengerut saking bingungnya dengan ocehan melantur bocah ini.
“Belum boleh oleh Mama.” Senyumnya
hilang, tergantikan kerucutan di bibir kemudian mengangkat bahu sekejap, “Entah
kalau sudah besar. Sepertinya boleh.”
Kerutan di wajahku hilang tapi aku
jadi menatapnya sambil mencabikkan bibir ketika dia berujar lagi.
“Nanti kalau sudah boleh, baru aku
akan suka pada kamu, Jian. Sekarang, kita berteman saja dulu. Oke?” []
*Goung-ju,
kota khayalan yang hanya ada di otak saya hehehe
0 komentar:
Posting Komentar