Life Scenarious, aku coba
tuliskan skenario yang siapa pun bisa menjadi pemilik ceritanya.
Ini semua soal presepsi.
Sebuah skenario kehidupan yang
menakutkan. Bahkan jika kehidupan terdapat keindahan pun, tetap saja indah itu
bisa juga menakutkan. Sakali lagi aku
katakan, ini memang presepsi dari setiap adegan kehidupan yang bisa saja aku,
kamu atau siapa pun alami.
Oke, yang aku ingin katakan
adalah mengapa aku bisa begitu berani.
Ya. Berani itu bagus memang,
bagus sekali. Tapi bukan itu ....
Entah kenapa semakin lama
keberanian yang muncul dalam diriku itu malah mengesampingkan harga diri.
Keberanian yang tidak melihat rasa malu. Gak
tau malu!
Oh, mungkin sebenarnya yang
ingin aku katakan adalah krisis rasa malu. #Indonesiakrisisrasamalu
Sengaja di strikethrough biar tidak terlalu kejam.
Ha! Kenapa krisis rasa malu? Gini, entah dimulai dari tahun berapa tapi yang
pasti itu tidak sampai 20 tahun silam ... Aku merasa jika semakin aku
memalukan, maka aku menjadi semakin menarik. Ya, menarik untuk diriku dan
menarik untuk orang lain. Tidak jarang jika itu juga semakin membuat aku beruntung.
Aneh gak sih aku itu? Aku rasa
itu aneh sekali. Aneh.
Kenapa aku yang berani dan
tidak tahu malu ini bisa mendapatkan keberuntungan dan menarik perhatian hanya
dengan hal aneh yang aku buat?
Hal aneh itu tidak jauh dari
membuat lelucon, lelucon itu banyak terjadi karena aku tidak malu-malu.
Ketika aku berkumpul dengan
teman-teman, aku sering melakukan hal yang sebenarnya, jika aku renungkan, itu
adalah hal yang tidak perlu dilakukan, tapi aku melakukannya dan mendapat
respon baik. Sungguh, saat itu memang menyenangkan!!
TAPI,
Apakah aku memang sangat
membutuhkan respon baik dari orang lain?
Apakah respon orang lain itu penting?
Ditambah lagi sekarang banyak
sekali media-media penyalur hal memalukan. Hei, apakah itu benar-benar salah
medianya? Bukan! Aku harus tahu kalau yang salah itu ada pada diriku
sendiri. Aku sering menatap kamera hanya
untuk bercemin lalu bergaya melakukan berbagai ekspresi, yang sebenarnya itu
adalah kegiatan yang tidak jelas tapi kemudian aku posting ke media umum. Mengapa
aku melakukan hal itu? Kegiatan yang sebenarnya sudah membuat aku malu pada
diriku sendiri malah aku perlihatkan ke depan umum. Apalagi jika aku
menghidupkan mode video, dengan beraninya berlenggok membuat lelucon hanya
untuk mendapatkan respon orang lain. Harusnya aku tambah malu. Harusnya... tapi
sangat menyenangkan, saat itu.
Aku tahu itu semua adalah hak
diriku. Aku sangat menghargai hak asasi manusia. Terserah aku! Tapi ya kalau
aku renungkan, kegiatan itu sangat tidak perlu. Ya, Aku harap aku selalu
merenungkan apa yang aku perbuat. Kegiatan aneh berkedok lelucon hanya untuk
mendapatkan respon orang itu yang membuat timbulnya krisis rasa malu. Karena masalahnya
yang melakukan kegiatan bukan hanya diriku.
Sudah seharusnya aku akui dan
memang aku akui ini juga salah diriku mengapa krisis rasa malu bisa terjadi.
Mengapa aku juga malah memberi respon pada kegiatan yang dilakukan oleh
orang-orang yang melakukan hal aneh?
Akibatnya bisa dua hal. Satu, kamu akan tertawa menghina bahkan meremehkan ‘itu’.
Kedua kamu akan mengikuti ‘itu’. Kegiatan itu. Tapi apa pun tanggapanku
terhadap hal aneh penyebab krisis rasa malu itu bagaikan respon baik. Setiap
kolom komentar di media umum menurutku sudah tidak ada manfaatnya. Aku menjadi
tidak tegas pada apa yang aku pilih dan malah membuat diriku berdosa dengan
kata-kata yang aku keluarkan.
Serba salah aku tuh, komentar
pun malah jadi mencaci. Tidak mencaci takut menjadi-menjadi. Ha!! Aku rasa
lebih baik kolom komentar dihilangkan saja.
Sebagai generasi penerus
bangsa, memalukan di media umum yang benar-benar umum membuat diriku menurunkan
moral bangsa. Aku harus minta maaf soal itu, dan aku harus berubah menjadi lebih
baik. Tapi setidaknya, aku bukan pejabat koruptor yang masih melambaikan tangan
sambil tersenyum di depan kamera dan mengeluarkan seribu pengelakan manis. Aku
juga bukan public figure pemakai
narkoba yang malah banjir job dengan
segala pencitraannya. Itu juga memalukan. Sangat! Semoga aku selalu pada
porsinya.
Aku percaya setiap individu
punya lebih dari satu sisi karakter. Diriku yang aku tuliskan bisa saja
bukanlah aku yang sebenarnya, karena itu bisa saja tentang dirimu, dan tentu
saja bisa tentang diriku namun tidak akan aku akui itu.
0 komentar:
Posting Komentar