Rabu, 28 Februari 2018

PARK JIMIN: LA CONTINUA

PARK JIMIN: LA CONTINUA



Angin musim dingin berhembus, membuat semak-semak berdesik. Ji Hwa memperhatikan burung-burung mengepakkan sayapnya dan meluncur dari ujung-ujung pohon pinus, seolah akan menjatuhkan diri pada lautan di bawah sana—padahal sebelum berhasil menyentuh setitik deburan ombak, sayapnya kembali terkepak membawa tubuh kecilnya terayun terbang; tinggi dan semakin tinggi.

Kaki telanjangnya bergerak mengambil satu langkah lagi, membuatnya berdiri kokoh di bibir tebing. Saat angin kembali berhembus, ia merentangkan kedua lengannya dan memejamkan mata. Angin musim dingin menusuk permukaan kulitnya saat ia menarik napas dalam-dalam; meresapi oksigen yang seperti aliran es menjalar dan memenuhi rongga paru-parunya. Seketika ia merasa hidup kembali.

“Ji!”

Ji Hwa berdesis malas dan membuka matanya dengan penuh keengganan. Saat berbalik, seorang laki-laki tengah menatapnya dengan mata yang diselimuti kepanikan.

“Untuk apa kemari?” Ji Hwa melipat tangannya di dada.

“Harusnya aku yang menanyakan hal itu pada kamu! Untuk apa kamu berdiri di sana?!” Laki-laki itu setengah berteriak.

Ujung bibir Ji Hwa sedikit tertarik, tapi ia menahannya. Lelaki itu memang selalu begitu; dipenuhi kepanikan. “Aku tidak perlu memberitahu kamu, Park Jimin.”

Raut wajah Jimin berubah, meskipun hampir tidak kentara. “Ehm ... ya, memang, sih.” Jimin berdeham pelan, “Tapi aku sudah berjanji untuk melindungi kamu saat Yoongi ... tidak ada,” ucapannya melemah di ujung kalimat saat menyadari bahwa apa yang ia ucapkan adalah sebuah kesalahan besar.

Mendadak wajah Ji Hwa menjadi sangat datar. Tatapannya yang dingin hampir menyamai udara musim dingin; sama-sama menusuk dan membuat bulu kuduk Park Jimin berjengit.

“Ma-maaf.” Mata Jimin bergerak liar, “Aku hanya cemas kamu akan jatuh.”

Tapi Ji Hwa justeru tersenyum miring, “Memang itu tujuanku. Siapa tahu aku bisa bertemu dengan temanmu yang brengsek itu di bawah sana.”

Jimin kembali panik, “Jangan ngaco! Bagaimana kalau itu sungguhan terjadi? Kamu bisa mati karena tenggelam sekaligus kedinginan. Kenapa, sih, kamu suka sekali mencari bahaya di saat teman yang lain justeru sedang asik menikmati liburan musim dingin?!”

“Karena si brengsek itu juga pergi saat liburan musim dingin.” Ji Hwa mengatakannya dengan santai.

Jimin menghembuskan napasnya. Melihat Ji Hwa dengan pandangan penuh rasa sedih. “Berhenti merindukannya.”

Raut Ji Hwa kembali mengeras, ia bahkan menekan gigi-giginya, “Aku tidak merindukannya!”

“Lalu untuk apa kamu berusaha melompat ke bawah sana setiap liburan musim dingin? Berharap kamu bisa bertemu dengannya dan membawanya kembali, begitu?”

Napas Ji Hwa memburu, menatap Jimin penuh nyalang sebelum akhirnya ia membalikkan badannya. Satu kali lagi melangkah, sudah bisa dipastikan bahwa ia akan terjun bebas dan jatuh ke dalam air sedingin es dengan ombak yang cukup besar.

“Baiklah.” Jimin kembali menghembuskan napas sambil menatap punggung Ji Hwa, “Lompat saja kalau berani. Tahun lalu juga akhirnya kamu hanya berbalik dan kembali menangis.”

“Berhenti ikut campur! Lupakan janji bodohmu itu. Toh kalau pun kali ini aku benar-benar terjun, kamu tidak akan berani menyelamatkanku.”

Ji Hwa menatap ombak di bawah sana dengan tatapan kosong. Ia perlahan mundur ke belakang, “Dan juga, asal kamu tahu. Aku memang tidak pernah memiliki niat untuk membawanya kembali, karena aku tahu bahwa itu tidak mungkin. Jadi dari pada membawanya kembali ...,” Ji Hwa berhenti tepat di langkah kelima, “Lebih baik aku yang ikut bersamanya pergi.”

Dan setelah mengucapkan kalimat itu, Ji Hwa berlari dengan penuh keyakinan. Ia melompat di ujung tebing, merasakan apa yang mungkin burung-burung itu rasakan saat di atas awan. Bedanya, jika burung-burung itu kembali mengayun dan terbang lebih tinggi, Ji Hwa justeru meluncur dengan bebas dan lurus ke bawah sana. Jatuh ke dalam air yang berombak.

Tanpa sempat Jimin cegah.


***


          Ji Hwa berdiri di ujung tebing. Kebingungan. Hey, bukankah tadi ia sudah melompat bahkan sebelum Jimin berhasil meraih tangannya?

“Aish, si bodoh ini.”

Mendadak Ji Hwa membeku. Kemudian secepat kilat ia membalikkan tubuhnya. Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat ketika menemukan laki-laki yang sangat ia rindukan berdiri beberapa meter darinya. Melipat tangannya dan menyandarkan tubuhnya pada salah satu pohon pinus.

“Kenapa kamu ke sini?”

Emosi Ji Hwa naik hingga ubun-ubun. Ia mengambil kerikil-kerikil dan melemparkannya dengan penuh emosi ke arah Yoongi. “Brengsek! Laki-laki brengsek! Kemana saja kamu, ha?! Bisa-bisanya kamu pergi begitu saja tanpa pamit padaku!”

Napas Ji Hwa memburu dan ia berhenti ketika melihat Yoongi masih diam dan tenang; sama seperti biasanya.

“Bisa-bisanya kamu pergi tanpa mengajakku. Jahat sekali, sungguh ....” Tangisnya meledak.

“Kamu sendiri belum menjawab pertanyaanku. Kenapa kamu ke sini?”

Ji Hwa terisak sambil menatap Yoongi, “Aku merindukanmu, bodoh. Aku rindu. Dan ada banyak hal yang ingin aku sampaikan. Kenapa kamu seperti itu? Kenapa kamu pergi? Ke-kenapa ...,” ucapannya terputus, tapi Ji Hwa mencoba untuk menelan segala emosinya, “Kenapa kamu meninggalkan aku?” cicit Ji Hwa pada akhirnya.

Yoongi berdiri dengan sempurna, “Ji ... di dunia ini, banyak hal yang terjadi. Dan jika kamu bertanya kenapa, maka jawabannya hanya akan berpusat pada satu titik. Takdir.”

“Tapi kamu bahkan memotong jalan takdirmu sendiri, Yoon.”

“Ya, aku sadar ketika segalanya sudah terlambat.” Yoongi tersenyum tipis, “Untuk itu, jangan lakukan kesalahan yang sama denganku.”

Ji Hwa masih terisak, “Kamu tahu bahwa tidak ada lagi yang dapat aku percayai selain kamu.”

“Maka mulai dari sekarang, belajarlah percaya pada orang lain. Terbuka padanya dan tetaplah bertahan.” Yoongi berjalan mendekati Ji Hwa perlahan, ia masih tersenyum dengan tipis. “Ji, la continua ....”

Dan ketika Yoongi hampir berhasil ia sentuh, segalanya menjadi gelap.


***

“Ya Tuhan, Ji Hwa ...,” Ji Hwa membuka matanya perlahan dan yang pertama kali ia lihat adalah si laki-laki penuh kepanikan, Jimin. “Dokter! Dokter, Ji Hwa sudah sadar!”

Saat Jimin yang tersenyum kelewat lebar di depannya hendak beranjak, Ji Hwa menahan tangannya.

“Hei, aku harus memanggil Dokter dan Kakakmu.”

Ji Hwa hanya diam memperhatikan Jimin yang kemudian dengan canggung kembali duduk, “Oke. Aku bisa di sini dulu, tentu saja.”

Ingin rasanya Ji Hwa terkekeh, tapi yang keluar ternyata hanya senyuman tipis. “Jimin ...,” suara Ji Hwa benar-benar serak, “Tolong bantu aku.”

Jimin mengernyit, “Untuk?”

Air mata menggenang di pelupuk matanya, tapi Ji Hwa berusaha sekuat mungkin untuk tersenyum dengan baik, “Bantu aku melanjutkan hidup.”

Dan akhirnya Ji Hwa mengerti bahwa seperti apa yang Yoongi sampaikan, segalanya masih, akan, dan harus tetap berlanjut.[]




Read more

KIM NAM JOON: PULANG

KIM NAM JOON: PULANG



Aku mengerjap. Sebuah cahaya berpendar, membuat senyawa sekecil debu terlihat melayang-layang, berterbangan dan mengudara. Kemudian sadar bahwa aku sedang berdiri di atas trotoar sebelah Halte Bus yang senyap.

Siluet seorang lelaki berjalan mendekat. Semakin dekat dan aku mengenalinya. Dia, lelaki berlesung pipi itu tersenyum tipis. Namun belum memerlihatkan lesung pipinya yang manis dan dalam.

“Untuk apa datang?!” ujarku marah.

Lelaki itu berhenti dan tersenyum lebih lebar. Kali ini jelas memerlihatkan lesung pipinya yang manis—semakin manis, semakin membuatku geram.

“Pergi!”

Aku berteriak marah. “Pergi saja! Tidak usah datang kalau nantinya pergi lagi.”

Aku ingin menjangkaunya. Hanya untuk memukul kepalanya—atau mungkin memeluknya?

“Pergi! Sungguh jangan kembali kalau Cuma untuk menumpuk rindu ketika nanti kamu pergi lagi. Percuma, Nam Joon. Ya Tuhan ...,”

Tanpa sadar aku sudah terisak. Tapi gilanya, Nam Joon justeru maju satu langkah dan menjulurkan sebelah lengannya.

Ia tersenyum. Memerlihatkan senyumnya yang manis beserta lesung di kedua pipinya. “Ayo. Kali ini, aku datang bukan untuk pergi lagi. Melainkan untuk menjemputmu pulang. Benar-benar pulang.” []
Read more

Senin, 26 Februari 2018

JEON JUNG KOOK: WHAT?!

JEON JUNG KOOK: WHAT?!




“Haus, Gong?”

Jung Kook yang baru keluar dari Studio Kampus menyodorkan sekaleng soda yang sudah terbuka. Aku masih fokus pada novel karya Dan Brown di tangan, berusaha mengabaikannya meskipun sebenarnya aku tahu betul mengenai presensinya yang kini duduk di sebelahku.

“Gong Min, aku duluan, ya!”

Refleks aku mendangak dan tersenyum sambil melambai pada Park Jimin yang baru saja pamit untuk pulang.

“Hati-hati, Jim!”

“Oh ...,” Jung Kook berseru sambil meletakkan sekaleng soda minuman di atas meja di belakang kami. “Jadi begini? Kamu masih marah padaku, hm?”

Masa bodo. Aku memang masih sebal pada anak ini atas kejadian semalam. Kalau tidak ingat Bus sudah hampir sulit ditemukan di jam-jam seperti ini, aku juga tidak akan mau menunggunya selesai dengan urusan UKM Bandnya.

“Dasar tukang marah! Padahal aku Cuma memintamu memasakkan ramen untukku.”

“Apa?” Aku melotot ke arahnya, “Masalahnya bukan terletak pada apa yang aku masak, Jung Kook! Jam dua pagi. Kamu menggedor-gedor pintu flatku. Membuatku terkejut dan bangun dari tidurku. Bilang bahwa ada sesuatu yang aneh di dalam flatmu. Dan kamu ternyata berbohong hanya supaya aku mau memasakkan ramen untuk menemani kamu menonton bola. Kita memang teman satu kampung, dua puluh tahun bersama-sama, tapi bukan berarti kamu bisa melakukan hal seperti itu padaku, Jung Kook! Ya Tuhan ....”

Tiba-tiba aku merasa angin malam berubah menjadi panas. Aku mengipas-ngipaskan tangan di sekitar leher. Mengingat kejadian semalam membuatku merasa kesal.

“Hehehe. Minum-minum,” ujarnya sambil cengengesan dan menjulurkan sekaleng minuman bersoda. “Sehabis marah-marah, kamu pasti lelah. Minum yang banyak. Habiskan.”

Aku meneguk juga minuman bersoda itu. Demi apapun aku kesal setengah mati. Setelah meneguknya hingga habis, aku memegang kalengnya di atas paha. Sementara sebelah tanganku yang lain masih memegangi novel.

“Sudah habis?”

Melirik sinis ke arahnya. Aku lemparkan kaleng soda kosong itu padanya.

“Anak pintar,” ucapnya sambil mengintip ke dalam kaleng soda. “Nah, mulai sekarang, kamu adalah pacarku, Gong Mi. Selamat!”

What?

“Selamat! Kamu sudah resmi menjadi pacar dari seorang Jeon Jung Kook Si Vocalist BTS Band yang dicintai oleh semua lapisan perempuan seantero kampus. Wah, selamaaat!”

Dengan bodohnya dia tersenyum lebar sambil menyalami tanganku.

“Sinting!”

Berusaha menarik tanganku, tapi dia justeru bergerak untuk menggenggam tanganku. Menyusupkan jari-jarinya di celah jariku.

“Kaleng ini menjadi saksi hari pertama kita berpacaran.”

“Kamu kerasukan iblis kampus, ya, Jung?”

Dia tersenyum lebar, “Gong, kata orang, kalau sudah berciuman, kita harus sama-sama bertanggung jawab. Katanya, pihak lelaki harus menikahi pihak perempuan. Nah, karena aku belum selesai kuliah, belum punya pekerjaan, jadi kita berpacaran saja dulu.”

“Sinting! Apa, sih? Kapan juga kita berciuman?”

Jung Kook menyodorkan kaleng soda kosong, “Tadi. Indirrect kiss. Sebelum kamu meminumnya, aku sudah lebih dulu menempelkan bibirku di sana. Jadi, resmi, kita sudah berciuman.”

Aku melongo dibuat takjub oleh ucapannya. Wah, teori dari siapa, sih, ini?

“Nah, jadi,” Jung Kook bangkit sambil tetap menggenggam tanganku, “Mulai sekarang kamu adalah pacarku. Resmi. Tidak boleh diganggu gugat.”

What?!

“Ayo kita pulang, Pacar. Aku lapar. Tapi kali ini aku tidak mau ramen, maunya kamu.”

WHAT?! []
Read more

KIM SEOK JIN: PERSIMPANGAN

KIM SEOK JIN: PERSIMPANGAN




“Ayo kita sudahi.”

Kemudian hening. Setelah kalimat itu keluar dari salah satu pengecap diantara dua manusia yang sedang berhadapan ini, keadaan menjadi senyap.

Tiba-tiba saja keduanya menjadi lebih peka pada apa-apa yang ada di sekitar mereka. Daun-daun mapel kuning kecokelatan yang jatuh perlahan kemudian mendarat dengan mulusnya di atas permukaan rumput hijau, angin yang berhembus membuat pori-pori rasanya membesar, hingga angin musim gugur dengan bau khas yang entah kenapa, tidak sedap lagi untuk dihirup.

Semuanya menjadi lebih terasa—mereka lebih peka. Katanya, kalau kita sedang berada dalam situasi yang tidak membuat nyaman, maka atensi kita akan berkeliaran kemana-mana. Dan detik ini Kim Seok Jin memercayai hal itu.

Bahkan telinganya baru saja berhasil mendengar suara kepakan sayap dari burung gereja yang bahkan sayapnya saja tidak lebih besar dari kepalan tangannya.

“Berat, Jin ....”

Dan demi alam semesta beserta segala isinya, lirihan suara gadis itu sudah terasa layaknya belati yang berhasil mengiris sesuatu yang ada di dalam dada Seok Jin. Tidak terlihat, tapi rasa sakitnya jelas menusuk.

Lelaki dua puluh enam tahun itu menghembuskan napas, sebelum akhirnya berani menatap manik gadisnya.

“Tapi kita harus,” ucap Seok Jin pelan.

Sebuah genangan terlihat di sana. Bening, hampir jatuh, dan membuat Seok Jin merasa semakin kesakitan.

Namun bagaimana pun, Seok Jin tidak bisa terus-menerus menggenggam gadis ini lebih lama lagi. Karena semakin lama, justeru akan semakin menyulitkan mereka. Waktu enam tahun saja sudah cukup membuatnya bingung; bagaimana caranya untuk bangkit setelah segalanya berakhir?

Gadisnya menggeleng, “Aku tidak bisa, Seok Jin ....”

Seberapa besar pun ia menahan untuk tidak lagi menyentuh gadis ini, nyatanya Seok Jin tetap meraih tangan gadisnya lalu menggenggamnya. Tidak tahan melihat gadisnya dirundung sedih yang sangat dalam begini.

“Dari segala perbedaan yang menjadi batas kita, kamu tahu mana yang paling menyakitkan untukku?”

Seok Jin meneguk satu kali. Percayalah, bahwa kondisi ini pun sulit baginya. Sangat.

“Saat aku benar-benar sadar bahwa untuk menuntunmu ke surga yang sama pun aku tidak bisa.”

Kemudian gadisnya terisak. Seok Jin tidak sanggup, direngkuhnya bahu bergetar milik gadis itu. Berusaha meredam isak tangis gadisnya yang justeru semakin menjadi. Semakin membuatnya luar biasa sesak.

“Jin ...,” panggil gadisnya dengan suara amat bergetar, “Kenapa kita harus begini?”

Akan sangat munafik jika menyebut nama Tuhan di saat-saat seperti ini: ketika justeru sebagian dari dirinya ingin mengenyampingkan segalanya. Tapi, Ya Tuhan, kenapa rasanya bisa sesakit ini?

“Maafkan aku. Maafkan aku ....”

Lebih dari yang terjadi hari ini, Seok Jin benar-benar merasa bersalah atas segalanya; kehadiran kita diantara mereka.

“Kita tidak punya pilihan lain selain berpisah. Maafkan aku.”

Sebuah panah menancap. Seok Jin mengeratkan pelukannya.

Karena seberapa lama pun mereka berusaha melangkah bersama, sejauh apapun mereka memutuskan untuk berlari, pada akhirnya satu-satunya tempat yang akan mereka temui di ujung sana adalah satu: Persimpangan jalan untuk kemudian saling mengabaikan. []


Read more

Jumat, 23 Februari 2018

Review Rekomendasi Drama I'M NOT ROBOT



I’M NOT A ROBOT

Hello everyone..!!!

Drama yang satu ini sangat aku rekomendasikan sekali untuk kalian semua, apalagi untuk kalian yang tidak suka drama yang berat-berat. Aku jamin drama ini seru dan tidak mengecewakan, asli gak bohong. Tanya aja sama yang udah nonton, iya kan ? kalau aku sih iya! 


                Drama I’m not a robot ini bisa menyebabkan baper garis keras. Harap di kondisikan.

Setiap episode per-episodenya sangat asyik untuk ditonton. Tidak membosankan sama sekali.
Awal membaca judul drama ini membuatku bertanya-tanya isi dari cerita tersebut. Apalagi adegan pertama yang muncul juga sama sekali tidak menunjukan jika drama ini juga drama romance. Setelah menonton lebih jauh ternyata, drama ini menceritakan tentang seorang pria anti manusia yang kesepian kemudian jatuh cinta dengan robotnya.

Sesederhana itu garis besarnya. Tapi tidak dengan kisah didalamnya. Drama ini dikemas dengan baik oleh penulis... 


Kim Min Kyu, Ia mempunyai alergi yang bisa membuat tubuhnya penuh dengan ruam jika bersentuhan dangan manusia. Repot banget gak sih ?.  Alergi itu muncul sejak ia masih kecil, saat kedua orang tuanya meninggal kemudian ia dikhianati oleh orang-orang yang dahulu dekat dengan keluarganya. Memang sedikit aneh waktu alergi itu pertama kali muncul, tetapi bisa dibayangkan bagaimana rasa sakit dan terkejutnya seorang Kim Min Kyu yang masih anak-anak yang melihat kedua orang tuanya meninggal dihadapannya setragis itu, ditambah orang-orang kepercayaannya hanya perduli pada hartanya. Tidak ada yang mengetahui penyakit Kim Min Kyu kecuali sang dokter pribadi juga pak tua penjaga rumah (walau tetap jaga jarak). Kim Min Kyu tumbuh dewasa dan meneruskan perusahaan yang dipimpin mendiang ayahnya, ia menjadi CEO KM Financial dengan memasang tameng sebagai ‘Three-Part Baton’ alih-alih untuk menghindarkan ia dari manusia.

Dalam drama diceritakan bagaimana Kim Min Kyu bisa bertahan hidup sendiri selama berpuluh-puluh tahun, ia berkata jika ia sangat baik-baik saja hidup sendiri namun, kenyataannya Kim Min Kyu juga tidak benar-benar hidup sendiri, ia ditemani robot-robot cantik.. menurutnya. Ya Itu juga merupakan bentuk usaha Kim Min Kyu agar merasa tidak sendiri.

Sampai akhirnya sebuah tim robotika yaitu tim santa maria memperkenalkan robot tercanggih yang menyerupai manusia yaitu AJI 3 , khusus pada Kim Min Kyu.

AJI 3 , Robot humanoid cantik buatan tim santa maria yang dipimpin oleh Prof. Hong sangatlah canggih dan membuat Kim Min Kyu tertarik. Alih-alih memberi pelatihan percobaan, AJI 3 pun diminta dikirim ke rumah Kim Min Kyu.


 
 Siapa sangka rupa dari AJI 3 adalah wujud dari mantan kekasih Prof. Hong itu sendiri dan saya juga tidak sadar awalnya karena ternyata si wajah AJI 3 ini sudah muncul sebelumnya yaitu Jo Sajjang ( Jo Ji Ah. Gak ngeh aseli.

Karena suatu hal yang amat sepele, Aji 3 jadi koslet. Keadaannya tidak siap untuk menjalani pelatihan percobaan untuk Kim Min Kyu. Panic attack!!!. untungnya Jo Ji Ah setuju untuk menggantikan AJI 3

Masa pelatihan pun dimulai, mulai deh bikin ketawa gajelas. Jo Ji Ah yang punya IQ rendah malah terlihat lebih pintar dibanding Kim Min Kyu yang IQ nya tinggi. Ada saja akal Jo Ji Ah untuk membuat Kim Min Kyu percaya bahwa dia adalah AJI 3 robot yang canggih dan pantas untuknya. Kelakuan mereka berdua asli bikin ngakak. 

Seiring berjalannya waktu Kim Min Kyu mulai nyaman dengan Aji 3, Kim Min Kyu benar-benar memperlakukan AJI 3 dengan baik. Tidak, bukan begitu. Tepatnya Jo Ji Ah benar-benar berperan baik sebagai AJI 3, Kim Min Kyu yang tidak mengenal manusia dan pertemanan pun luluh padanya. Saat itu pula Prof. Hong mulai merasa cemburu. Tetapi tidak ada cara lain  untuk menutupi kondisi AJI 3 yang sebenarnya belum sempurna. Jo Ji Ah pu jadi mengendalikan AJI 3. Aw awww mulai deh mereka bikin baper






Bukan hanya tentang Kim Min Kyu dan AJI 3, dalam drama juga menceritakan bagaimana persaingan antara Kim Min Kyu dan Hwang Yoo Cheol yang merupakan rival sekaligus teman semasa kecilnya. Hwang Yoo Cheol dan ayahnya tidak henti-hentinya berusaha untuk mencabut jabatan dan menguasai KM Financial dari Kim Min Kyu. Sebel gak sih sama mereka ?.

Menurutku peran antagonis dalam drama ini juga sangat pas sekali. Aku sendiri juga tidak bisa sebenci itu pada mereka si antagonis. Kalau kalian belum nonton ini, serius deh jangan terlalu benci sama mereka yang emang nyebelin sih.

Setiap pemain dalam Drama ini sangat menghidupkan peran masing-masing, semuanya berperan dengan baik. Dari mulai dua orang mata-mata, kakak sekaligus sekretaris Kim Min Kyu juga istri dan anaknya. sukaaaa      


Kim Min Kyu juga selalu terbayang pada cinta pertamanya yaitu Ye Ri El, mereka pun di jodohkan untuk menikah. Menikah memang hal yang juga sangat diinginkan Kim Min Kyu, apalagi bersama cinta pertamanya yang merupakan teman masa kecilnya. Namun alergi yang dimilikinya membuat semuanya terhambat. Untuk itu berkat kehadiran AJI 3 , Kim Min Kyu sadar jika alerginya hilang saat AJI 3 berada di dekatnya.

Hei Kim Min Kyu, AJI 3 itu manusia ! Ya, dia bersentuhan dengan manusia.

Memang greget rasanya menonton drama ini, alih-alih membantu Kim Min Kyu agar bisa lancar berkencan dengan Ri El. Kisah Kim Min Kyu dan AJI 3 sendiri malah menyedihkan.

Saat Kim Min Kyu berusaha menampikan perasaan nyaman dan senang pada AJI 3. Hal itu membuat Jo Ji Ah sebagai AJI 3 merasa hampa. Hal itu terus berlanjut sampai rasa suka Kim Min Kyu semakin dalam pada AJI 3, dan semakin menyakiti hatinya karena kenyataan yang ia ketahui bahwa ia menyukai sebuat robot yang tidak memiliki perasaan dan berkendali sesuai data yang masuk dalam servernya.


Sedih sekali melihat Kim Min Kyu begitu putus asa dengan perasaannya. Kesedihan pun tidak berujung pada putus asanya perasaan Kim Min Kyu pada AJI 3. Jo Ji Ah yang baru mengetahui jika Kim Min Kyu mempunyai alergi terhadap manusia pun sangat merasa bersalah dan merasa dirinya sangat egois. Kesedihan yang sebenarnya pun dimulai. Kim Min Kyu pun benar-benar menyerah dengan perasaannya pada AJI 3.

Bukan hanya Kim Min Kyu. Jo Ji Ah pun merasa sangat terpukul, ia sangat nyaman dengan Kim Min Kyu. Namun ia sadar jika ia tidak pantas mempunyai perasaan suka padanya. Buatku kisah mereka sangat rumit. Namun sangat terasa sekali.

Tidak ada cerita yang tidak terjawab penyelesaiannya. Akhir jalan ceritanya yang tidak hanya terpaku pada bagaimana akhir dari kisah cinta Kim Min Kyu sangatlah memuaskan. Mereka memperlihatkan bagaimana bisnis robotika sangatlah menjajikan. Aji 3 yang sangat dipertaruhkan. Perasaan pedih penonton sangat di permainkan, perpisahan Kim Min Kyu dan Aji 3 sudah berlalu dan muncullah Kim Min Kyu yang bertemu Jo Ji Ah.  Bagaimana drama ini menyelesaikan kisah mereka pun sangat menarik.



aku beri point : 10/10

SEE YOU
Read more

Selasa, 20 Februari 2018

BUKAN PHOSPHENOUS, LALU APA?

Jung Ho Seok: Bukan Phosphenous, Lalu Apa?





Phosphenous adalah keadaan dimana mata bisa melihat cahaya ketika terpejam tanpa benar-benar melihatnya. Lalu ... jika objek yang aku lihat ketika mataku terpejam tanpa benar-benar melihatnya adalah kamu ... apakah itu disebut?


Aku tidak mengerti tentang apa rasa ini disebut: kehilangan, barangkali? Tapi rasanya lebih dari itu. Jauh melampaui makna kehilangan. Kosong bisa jadi. Yang jelas, rasanya seperti aku bangun dari tidur siang di musim panas yang menyengat, dengan titik-titik keringat di kening dan hawa gerah yang melingkupi, kemudian aku sadar bahwa kacamataku tidak dapat kutemukan di sekitar; tidak nyaman; membuat segalanya nampak buram dan tidak ada yang bisa aku lakukan setelahnya.

“Hei, bagaimana mungkin kamu baru mengerjakan setengah lembar halaman laporan jurnalmu?”

Jin memrotes. Membuatku tersentak bukan main. Akhir-akhir ini atensiku memang sering mendadak hanyut terbawa pikiran yang melayang entah kemana.

“Kamu sudah duduk di sana selama dua jam, Seul Hee.”

Aku hanya bisa tersenyum kikuk sambil menggaruk ujung telinga dengan satu jari. “Aku tidak sengaja melamun. Tapi akan kukerjakan lagi, kok,” ujarku sambil cepat-cepat menegakkan duduk dan membetulkan letak kacamata kotak besar yang aku kenakan.

Seok Jin mendesah. “Kalau begitu, aku mau beli kopi dulu. Cepat selesaikan laporanmu supaya kita bisa cepat pulang.”

Pemuda itu bangkit dari duduknya kemudian melotot ke arahku, membuatku merapatkan kembali kedua bibir yang hendak menolak tawarannya, “Jangan menolak! Aku tidak mau kamu tiba-tiba berubah menjadi linglung lagi dan melupakan jalan pulang.”

Linglung. Ah, ya. Linglung mungkin adalah kata yang paling menyentuh ketepatan atas apa yang saat ini melandaku.

Tapi, kenapa? Maksudku, oh, ya mungkin aku memang kehilangan kamu, tapi aku sama sekali tidak menyangka bahwa kehilangan satu diantara berpuluh orang di sekitarku bisa membuat dampak yang sebesar ini. Tidak masuk di akal. Bagaimana mungkin kehilangan kamu yang bahkan tidak membuatku menangis ketika pergi, justeru membuatku menjadi seonggok perempuan hampir dewasa yang mungkin akan mengacaukan hidupnya sendiri?

Aku belum dewasa, tentu saja masih dalam proses, tapi aku juga bukan seorang remaja pemberontak yang tidak mengerjakan tugas laporannya, lupa makan, lupa tidur, lupa memberi makan Neko makan, dan lupa-lupa lainnya. Namun kenapa aku justeru melakukan segala sesuatu yang aku absen itu?

“Tuh ‘kan! Tuh ‘kan! Kamu melamun lagi, hei, Seul Hee!”

Aku mengerjap dan menemukan Seokjin dengan gelas kopi di kedua tangannya. Ia menaruh keduanya di mejaku, lalu kemudian menarik kursi dan duduk menghadapku. Tangannya menarik kursi milikku hingga menghadapnya juga. Ia menatapku sengit.

“Dengar, apa yang terjadi padamu?”

Aku juga bingung. “Aku ... tidak mengerti, Jin. Entahlah.”

“Semua pasti ada sebabnya, Ahn Seul Hee. Berpikirlah. Kamu anak Fakultas Kimia yang jelas memiliki otak beribu kali lipat lebih cemerlang dibanding milikku. Sekarang, pikirkan ini baik-baik.”

“Tidak tahu. Aku sendiri tidak mengerti kenapa akhir-akhir ini aku sering melamun.”

Aku meneguk satu kali. Tidak tahu.

“Apa yang kamu pikirkan saat kamu melamun?”

“Pikiranku ... tidak ada. Aku hanya melamun. Lalu terkejut saat seseorang menegurku. Begitu saja.”

Seok Jin mendesah lagi.

“Aku rasa bukan karena masalah itu. Kamu bahkan tidak menangis seperti orang kebanyakan ketika dia meninggalkanmu.”

Ya, kurasa juga begitu.

“Sekarang, apa yang kamu rasakan?”

Apa yang aku rasakan? “Em ... seperti katamu tadi. Aku linglung? Ya, mungkin linglung. Seperti ada yang aku lupakan. Entah apa itu, aku lupa—tentu saja lupa, kalau ingat aku tidak akan lupa.”

Aku sempat mendengar ia berujar pelan, “Bicaramu bahkan ngaco. Mengerikan.”

“Seokjin, sudahlah ...,” Aku menghembuskan napas. “Aku mungkin terlihat tidak baik-baik saja, tapi aku sungguh baik-baik saja. Hanya kadar melamunku saja yang cukup meningkat akhir-akhir ini. Mungkin aku kelupaan sesuatu dan aku pasti akan mengingatnya nanti.”

Karena hari sudah larut, akhirnya Seokjin mengiyakan ajakanku untuk pulang. Tapi sebelum benar-benar berpisah di persimpangan jalan, ia memberi sebuah petuah, “Dengar, ini mungkin terdengar agak konyol. Tapi aku suka melakukannya ketika aku sedang kehilangan sesuatu karena lupa meletakkannya. Matikan lampu kamar, kompres kepalamu dengan air dingin, berbaringlah sambil memejamkan mata. Biasanya, aku akan mengingat apa yang aku hilangkan beberapa saat kemudian.”

Dan di sinilah aku. Di atas ranjangku, sambil mengikuti apa-apa yang diperintahkan Seokjin. Aku hanya menghindari omelannya esok pagi jika tidak mencoba apa yang sudah ia usulkan.

Aku sudah melepas kacamataku, memejamkan mata dan merasakan dinginnya sapu tangan yang menempel di keningku. Rasanya cukup nyaman. Kemudian entah kenapa, tiba-tiba saja bayangan kamu yang sedang tertawa muncul. Mungkin aku rindu. Lalu kemudian aku berusaha mengusir kamu dari sana.

Menajamkan intuisi dan berusaha mengingat apa yang aku lupakan. Buku? Lembaran kartu hasil ujian? Sepatu? Tas? Dompet? Tidak. Lalu bayangan kamu kembali muncul, kali ini tengah melakukan buing-buing aegyo yang membuatku refleks tertawa. Eh? Sudah sana, Ho Seok. Aku harus mengingat sesuatu dulu. Jadi aku mengusirmu lagi.

Kaos kaki? Ikat pinggang? Cardigan? Kotak kacamata? Tidak. Bayangan kamu yang sedang cemberut karena marah muncul, disertai aku yang mencolek-colek sebelah bahumu, berusaha sekuat tenaga membujuk. Membuatku refleks memberengut. Susah sekali membujuk kamu yang sedang marah, tahu! Aku mengusirmu lagi.

Berulang kali mencoba mengingat, berulang kali bayangan kamu disertai beberapa kejadian justeru bermunculan. Kamu yang membuatkanku bekal, kamu yang menungguku mengerjakan laporan di perpus, kamu yang selalu mengajakku makan chiros, kamu yang selalu bertingkah sok imut, kamu yang tukang ngambek, kamu yang selalu mengataiku isteri kuda karena kacamataku yang besar, kamu yang selalu menggenggam tanganku ketika sedang berjalan, kamu yang memelukku saat aku menangis, kamu, kamu, kamu. Kenapa selalu kamu yang muncul, Ho Seokie?

“Biasanya, aku akan melihat apa yang aku hilangkan ketika mataku terpejam beberapa saat kemudian.”

Seketika aku membuka mata. Apa?

Aku mengerjap beberapa kali. Meneguk lalu memejamkan mata lagi. Hanya untuk memastikan bahwa apa yang aku lihat bukanlah ... kamu.

Tapi itu kamu. Di sana. Di antara ruang gelap ketika aku terpejam. Kamu muncul di sana, Ho Seok. Tapi kenapa? Aku tidak pernah melupakan kamu barang sedetik pun semenjak kamu pergi. Sejak membuka mata di pagi hari, aku bahkan ingat bahwa hari ini adalah tepat peringatan dua bulan kepergian kamu untuk selamanya. Aku tidak pernah melupakanmu, Ho Seok...

Lalu kemudian aku membuka mata. Tapi tiba-tiba dadaku sesak dan aku menangis untuk pertama kalinya sejak kamu pergi.

Aku tahu sekarang apa yang aku lupakan—atau mungkin hampir. Aku memang tidak pernah melupakan kamu, tapi rupanya aku lupa seberapa besar aku membutuhkan kamu.


Ya Tuhan ... maafkan aku, Ho Seok. []










Happy birthday uri sunshine /lovelove/
Read more