PARK JIMIN: LA CONTINUA
Angin musim dingin berhembus, membuat
semak-semak berdesik. Ji Hwa memperhatikan burung-burung mengepakkan sayapnya
dan meluncur dari ujung-ujung pohon pinus, seolah akan menjatuhkan diri pada
lautan di bawah sana—padahal sebelum berhasil menyentuh setitik deburan ombak, sayapnya
kembali terkepak membawa tubuh kecilnya terayun terbang; tinggi dan semakin
tinggi.
Kaki telanjangnya bergerak mengambil
satu langkah lagi, membuatnya berdiri kokoh di bibir tebing. Saat angin kembali
berhembus, ia merentangkan kedua lengannya dan memejamkan mata. Angin musim
dingin menusuk permukaan kulitnya saat ia menarik napas dalam-dalam; meresapi
oksigen yang seperti aliran es menjalar dan memenuhi rongga paru-parunya. Seketika
ia merasa hidup kembali.
“Ji!”
Ji Hwa berdesis malas dan membuka
matanya dengan penuh keengganan. Saat berbalik, seorang laki-laki tengah
menatapnya dengan mata yang diselimuti kepanikan.
“Untuk apa kemari?” Ji Hwa melipat
tangannya di dada.
“Harusnya aku yang menanyakan hal itu
pada kamu! Untuk apa kamu berdiri di sana?!” Laki-laki itu setengah berteriak.
Ujung bibir Ji Hwa sedikit tertarik,
tapi ia menahannya. Lelaki itu memang selalu begitu; dipenuhi kepanikan. “Aku
tidak perlu memberitahu kamu, Park Jimin.”
Raut wajah Jimin berubah, meskipun
hampir tidak kentara. “Ehm ... ya, memang, sih.” Jimin berdeham pelan, “Tapi
aku sudah berjanji untuk melindungi kamu saat Yoongi ... tidak ada,” ucapannya
melemah di ujung kalimat saat menyadari bahwa apa yang ia ucapkan adalah sebuah
kesalahan besar.
Mendadak wajah Ji Hwa menjadi sangat
datar. Tatapannya yang dingin hampir menyamai udara musim dingin; sama-sama menusuk
dan membuat bulu kuduk Park Jimin berjengit.
“Ma-maaf.” Mata Jimin bergerak liar, “Aku
hanya cemas kamu akan jatuh.”
Tapi Ji Hwa justeru tersenyum miring,
“Memang itu tujuanku. Siapa tahu aku bisa bertemu dengan temanmu yang brengsek
itu di bawah sana.”
Jimin kembali panik, “Jangan ngaco!
Bagaimana kalau itu sungguhan terjadi? Kamu bisa mati karena tenggelam
sekaligus kedinginan. Kenapa, sih, kamu suka sekali mencari bahaya di saat
teman yang lain justeru sedang asik menikmati liburan musim dingin?!”
“Karena si brengsek itu juga pergi
saat liburan musim dingin.” Ji Hwa mengatakannya dengan santai.
Jimin menghembuskan napasnya. Melihat
Ji Hwa dengan pandangan penuh rasa sedih. “Berhenti merindukannya.”
Raut Ji Hwa kembali mengeras, ia
bahkan menekan gigi-giginya, “Aku tidak merindukannya!”
“Lalu untuk apa kamu berusaha
melompat ke bawah sana setiap liburan musim dingin? Berharap kamu bisa bertemu
dengannya dan membawanya kembali, begitu?”
Napas Ji Hwa memburu, menatap Jimin
penuh nyalang sebelum akhirnya ia membalikkan badannya. Satu kali lagi
melangkah, sudah bisa dipastikan bahwa ia akan terjun bebas dan jatuh ke dalam
air sedingin es dengan ombak yang cukup besar.
“Baiklah.” Jimin kembali
menghembuskan napas sambil menatap punggung Ji Hwa, “Lompat saja kalau berani.
Tahun lalu juga akhirnya kamu hanya berbalik dan kembali menangis.”
“Berhenti ikut campur! Lupakan janji
bodohmu itu. Toh kalau pun kali ini aku benar-benar terjun, kamu tidak akan
berani menyelamatkanku.”
Ji Hwa menatap ombak di bawah sana
dengan tatapan kosong. Ia perlahan mundur ke belakang, “Dan juga, asal kamu
tahu. Aku memang tidak pernah memiliki niat untuk membawanya kembali, karena
aku tahu bahwa itu tidak mungkin. Jadi dari pada membawanya kembali ...,” Ji
Hwa berhenti tepat di langkah kelima, “Lebih baik aku yang ikut bersamanya
pergi.”
Dan setelah mengucapkan kalimat itu,
Ji Hwa berlari dengan penuh keyakinan. Ia melompat di ujung tebing, merasakan
apa yang mungkin burung-burung itu rasakan saat di atas awan. Bedanya, jika
burung-burung itu kembali mengayun dan terbang lebih tinggi, Ji Hwa justeru
meluncur dengan bebas dan lurus ke bawah sana. Jatuh ke dalam air yang
berombak.
Tanpa sempat Jimin cegah.
***
Ji Hwa berdiri di ujung tebing.
Kebingungan. Hey, bukankah tadi ia sudah melompat bahkan sebelum Jimin berhasil
meraih tangannya?
“Aish, si bodoh ini.”
Mendadak Ji Hwa membeku. Kemudian
secepat kilat ia membalikkan tubuhnya. Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat
ketika menemukan laki-laki yang sangat ia rindukan berdiri beberapa meter
darinya. Melipat tangannya dan menyandarkan tubuhnya pada salah satu pohon
pinus.
“Kenapa kamu ke sini?”
Emosi Ji Hwa naik hingga ubun-ubun.
Ia mengambil kerikil-kerikil dan melemparkannya dengan penuh emosi ke arah
Yoongi. “Brengsek! Laki-laki brengsek! Kemana saja kamu, ha?! Bisa-bisanya kamu
pergi begitu saja tanpa pamit padaku!”
Napas Ji Hwa memburu dan ia berhenti
ketika melihat Yoongi masih diam dan tenang; sama seperti biasanya.
“Bisa-bisanya kamu pergi tanpa
mengajakku. Jahat sekali, sungguh ....” Tangisnya meledak.
“Kamu sendiri belum menjawab
pertanyaanku. Kenapa kamu ke sini?”
Ji Hwa terisak sambil menatap Yoongi,
“Aku merindukanmu, bodoh. Aku rindu. Dan ada banyak hal yang ingin aku
sampaikan. Kenapa kamu seperti itu? Kenapa kamu pergi? Ke-kenapa ...,”
ucapannya terputus, tapi Ji Hwa mencoba untuk menelan segala emosinya, “Kenapa
kamu meninggalkan aku?” cicit Ji Hwa pada akhirnya.
Yoongi berdiri dengan sempurna, “Ji
... di dunia ini, banyak hal yang terjadi. Dan jika kamu bertanya kenapa, maka
jawabannya hanya akan berpusat pada satu titik. Takdir.”
“Tapi kamu bahkan memotong jalan
takdirmu sendiri, Yoon.”
“Ya, aku sadar ketika segalanya sudah
terlambat.” Yoongi tersenyum tipis, “Untuk itu, jangan lakukan kesalahan yang
sama denganku.”
Ji Hwa masih terisak, “Kamu tahu
bahwa tidak ada lagi yang dapat aku percayai selain kamu.”
“Maka mulai dari sekarang, belajarlah
percaya pada orang lain. Terbuka padanya dan tetaplah bertahan.” Yoongi
berjalan mendekati Ji Hwa perlahan, ia masih tersenyum dengan tipis. “Ji, la continua ....”
Dan ketika Yoongi hampir berhasil ia
sentuh, segalanya menjadi gelap.
***
“Ya Tuhan, Ji Hwa ...,” Ji Hwa
membuka matanya perlahan dan yang pertama kali ia lihat adalah si laki-laki
penuh kepanikan, Jimin. “Dokter! Dokter, Ji Hwa sudah sadar!”
Saat Jimin yang tersenyum kelewat
lebar di depannya hendak beranjak, Ji Hwa menahan tangannya.
“Hei, aku harus memanggil Dokter dan
Kakakmu.”
Ji Hwa hanya diam memperhatikan Jimin
yang kemudian dengan canggung kembali duduk, “Oke. Aku bisa di sini dulu, tentu
saja.”
Ingin rasanya Ji Hwa terkekeh, tapi
yang keluar ternyata hanya senyuman tipis. “Jimin ...,” suara Ji Hwa
benar-benar serak, “Tolong bantu aku.”
Jimin mengernyit, “Untuk?”
Air mata menggenang di pelupuk
matanya, tapi Ji Hwa berusaha sekuat mungkin untuk tersenyum dengan baik,
“Bantu aku melanjutkan hidup.”
Dan akhirnya Ji Hwa mengerti bahwa
seperti apa yang Yoongi sampaikan, segalanya masih, akan, dan harus tetap
berlanjut.[]